Chapter 6

39 3 0
                                    

"Tahu gak, Nab?" tanya Kak Fuji, menghampiriku di meja makan.

"Kenapa, Kak?" tanyaku penasaran.

"Fadlan tadi ngajak Kakak makan dan ngenalin Kakak ke temen-temennya. Ganteng-ganteng, Nab, ya ampun." Kak Fuji sangat berbunga-bunga. Wajahnya terlihat kian bahagia.

Mendengar hal itu, sontak aku pun senang. Syukurlah, mungkin Kak Fadlan memang akan mendekati Kak Fuji. Satu sisi aku sedih, satu sisi aku tenang. Biarlah, Kak Fuji layak bahagia lebih dulu dengan pria pilihannya.

"Ya udah, Kakak mau mandi dulu. Kamu dah masak, 'kan?" tanyanya setelah berdiri.

"Udah, masih anget malah."

Nadia hanya menjadi pendengar saja. Ia sesekali melirik ke arah Kak Fuji, tapi ia pun tak bertanya apapun meskipun matanya penuh dengan rasa penasaran.

Selesai makan aku mengajak Nadia bermain, sayangnya ia lebih suka belajar. Katanya buatkan dia soal belajar, dengan senang aku buatkan beberapa contoh huruf kecil, dan Nadia segera mengerjakannya.

"Nadia, kalo sudah selesai, kita jalan-jalan, mau gak?" ajakku. Rasanya seperti benar-benar memiliki adik perempuan. Apalagi Nadia penurut dan pintar.

"Mau, Bu," jawabnya antusias.

Beberapa menit kulalui dengan melihat-lihat sosial media, sesekali aku melirik Nadia yang masih anteng dengan tugasnya.

"Yeay, selesai!" teriaknya dengan girang. Kemudian ia memperlihatkannya padaku. Kuberikan nilai A untuk semangatnya dalam belajar.

"Sekarang jalan-jalan, Bu Guru?" tanyanya.

Aku mengangguk. Tangan Nadia kutuntun dan kami berjalan keluar rumah, tentu setelah peralatan belajar Nadia tersimpan rapi dalam tas sekolahnya.

"Nadia!" Seseorang memanggil anak didikku dari belakang. Kami pun membalik arah tubuh. Dan di sana berdiri Pak Rido dengan setelan kemeja putih dan celana berwarna abu misty. Memakai kacamata, tengah berdiri di samping mobil berwarna putih.

Jarak kami hanya terpaut kurang dari sepuluh meter.

"Om …!" teriak Nadia girang. Tangan Nadia terlepas dan dia berlari ke arah Om-nya itu.

Mereka pun berpelukan, kemudian Nadia digendong oleh Pak Rido.

Aku pun berjalan mendekat ke arah mereka.

"Maaf, ya, Bu, saya ngerepotin!" imbuh Pak Rido.

"Gak apa-apa, Pak. Sudah jadi kewajiban saya," jawabku.

"Om mau jemput Nadia?" tanya gadis kecil di gendongannya.

"Iya. Masa Om mau jemput Bu Nabila?" kelakar Pak Rido, kemudian tertawa. Indera pendengaranku menangkap itu otomatis membuat pipiku pasti bersemu merah; tersipu. Candaan yang membuatku lagi-lagi harus menundukkan pandangan.

Nadia yang juga ikut tertawa, kini beralih menatapku, aku sulit mengartikan tatapannya itu.

"Boleh, gak, Nadia tidur di rumah Bu Nabila aja? Di rumah … Nadia kesepian Om," rengek Nadia. Mendengar itu aku cukup terkesiap. Padahal baru beberapa jam saja, tapi Nadia sudah senyaman itu di dekatku.

Pak Rido terlihat berpikir, kemudian ia mengulas senyum. "Boleh, tapi ada syaratnya!" kata Pak Rido.

"Apa itu, Om?" tanya Nadia seraya memasang wajah menunggu.

"Kita jalan-jalan sore dulu, boleh?" ajak Pak Rido dengan gaya semringahnya.

"Ajak Bu Nabila juga, kan, Om?" Nadia membuatku salah tingkah. Pasalnya aku hanya memakai baju gamis sehari-hari dan sendal jepit saja.

Elegi Kecemburuan (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang