Chapter 8

32 2 0
                                    

“Bu Guru, sudah siap-siap?” tanya Nadia di seberang telepon. Baru saja kuangkat dan Nadia sudah nyosor dengan pertanyaan yang mengingatkan pada janjiku padanya; jalan-jalan di hari Minggu.

Aku baru saja selesai memasak, sebentar lagi akan kutata hidangan di meja makan. Belum sempat makan sama sekali. Dan aku belum menyiram bunga di halaman depan.

"Sudah, Sayang," jawabku.

"Kalo gitu, Bu Guru keluar, aku sudah ada di depan rumah Bu Guru," ucap Nadia mengejutkanku.

Kuletakkan wadah berisi soto ini di atas meja dapur. Gegas aku berjalan ke pintu depan. Aku intip, ternyata mobil berwarna putih milik Pak Rido sudah ada di depan gerbang rumah.

Begitu kunci pintu kubuka, kaca jendela mobil putih itu perlahan terbuka. Nadia dengan wajah girang sedang melambai di sana. Aku membalasnya dengan senyuman.

Kututup telepon dari nomor Pak Rido itu, lantas berjalan mendekati Nadia.

"Selamat pagi, Bu Guru. Maafin Nadia jam segini sudah datang," ucap Pak Rido yang terlihat sangat kaku. Mungkin dia memang merasa sesegan itu datang sepagi ini di hari Minggu.

"Ayo, berangkat, Bu Guru!" ajak Nadia bersemangat.

"Nad … Bu Gurunya harus siap-siap dulu. Tadi 'kan Om sudah bilang, ini kepagian …," lembut Pak Rido mengingatkan Nadia.

"Ya sudah, Bu Guru siap-siap aja dulu, aku tunggu di sini," pinta Nadia.

"Yuk, masuk dulu! Mari, Pak, tunggunya di dalam," ajakku. Bagaimanapun juga mereka adalah tamu yang harus kuhormati.

***Nay Lembayung***

"Kita pergi kemana?" tanya Pak Rido kepada dua orang perempuan yang sudah duduk manis dalam mobilnya.

"Berenang, Om!" usul Nadia.

Kata-kata Nadia membuatku sedikit terhenyak. Bagaimana tidak, aku bahkan tak pernah sekali pun pergi ke tempat berenang. Malu saja rasanya.

"Nad, gak boleh kesana, kamu gak bawa baju berenang!" bantah Pak Rido.

"Biasa juga Om yang beliin!" tukas Nadia.

"Jangan deh, Om lagi males berenang," dalih Pak Rido.

"Oke, deh."

"Bu Guru ada ide?" tanya Pak Rido.

"Saya ikut saja, Pak."

Aku tak bisa memunculkan ide apapun. Selama ini aku jarang pergi keluar. Pekerjaan di TK dan di rumah banyak menyita waktuku. Kalau ada waktu luang hanya dua yang selalu kukerjakan; baca buku atau ikut kajian.

Hanya Demi anak didikku —Nadia— aku meluangkan waktu dan meninggalkan kebiasaanku. Wajah polosnya, wajah sedihnya, tak kuasa membuatku menyusun kata tolakan untuk ajakannya. Aku selalu merasa sedih bila melihat Nadia murung.

"Playground aja, Om!" usul Nadia untuk kesekian kalinya.

"Emang kamu mau ke playground mana lagi? Gak bosen?" tanya Pak Rido. Mobil sudah berjalan pelan melewati jalanan kampung.

"Ya udah, Om yang mutusin!" Nadia merajuk.

"Gimana kalo kita makan seafood di pinggir pantai?" tanya Pak Rido kepada kami berdua.

"Asyik! Mau, Om, mau, Om!" Nadia berdiri cepat lalu sedikit menghentak-hentakkan kakinya.

"Oke. Let's go!" Pak Rido sempat melihat ke arahku yang kemudian menoleh cepat ke arah Nadia.

Perjalanan panjang akan segera dimulai. Aku harus mempersiapkan diri kalau-kalau nanti lelah melanda. Bagaimana tidak, kapan aku melakukan perjalanan jauh, apalagi dengan orang yang bahkan bukan keluarga sama sekali.

Elegi Kecemburuan (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang