Hatiku teremas melihat pemandangan yang sungguh tak pernah aku pikirkan. Hawa panas menjalar dari dalam hati. Aku merasa kalau kepercayaanku selama ini seolah sia-sia saja.
Dengan jarak sekitar lima puluh meter, aku melihat kalau Kak Fuji turun dari mobil milik tunanganku. Kak Fuji bahkan dengan begitu ceria berbicara dengan orang di dalamnya.
Pandanganku mulai kabur oleh air yang perlahan mulai memenuhi mata. Mereka tak bicara kalau akan berangkat bareng. Walau memang aku merasa ganjil saat Kak Fuji berangkat dan Mas Rido tiba-tiba harus pamitan. Padahal aku pikir ada sesuatu yang terjadi di rumahnya.
Beberapa bulan ini aku bahkan tak pernah mendapati Mas Rido membohongiku. Baru sekali ini saja, ia ketahuan berbicara yang tak sebenarnya.
Ingin aku menghampiri mereka, rasa ingin tahu terus memberontak. Memaksaku untuk menghampiri keduanya dan bertanya apa yang tengah terjadi.
Sayangnya aku tak seberani itu. Mungkin saja mereka bertemu di jalan dan Mas Rido tak sampai hati membiarkan Kak Fuji yang berangkat dengan angkutan umum.
Sampai detik ini, mungkin itulah yang harus aku tanamkan dalam benak. Berpikiran terlalu jauh hanya akan membuatku tersiksa sendiri.
“Assalamu’alaikum!” Seseorang menyeruku dari arah belakang.
“Ustadz Zaki? Wa’alaikumussalam, Ustadz.” Aku menyatukan kedua tanganku di dada; memberi salam.
Aku bertanya-tanya sejak kapan Ustadz Zaki menyapaku. Selama ini aku hanya mengikuti kajiannya tanpa pernah bersapa dengannya secara langsung, bahkan tak berkenalan sekali pun.
“Ukhti temannya Fadlan, betul?”
“Iya, Ustadz.”
“Saya mau titip ini boleh? Tadinya saya mau ke rumah dia, tapi ada telepon dari kantor meminta saya segera datang.” Ustadz Zaki mengulurkan sebuah paperbag coklat yang cukup besar padaku.
“Kak Fadlan sedang di Kairo, Ustadz. Apa saya kasih ini sama kedua orang tuanya saja?”
“Di Kairo? Fadlan tidak jadi berangkat ke sana. Dia jadinya ambil kuliah di Jakarta. Katanya hari ini dia ada di rumah kedua orang tuanya. Makanya saya mau berkunjung sekalian silaturahmi.”
Aku masih tak mengerti apa yang dibicarakan Ustadz Zaki. Banyak hal yang terlalu mengejutkan. Aku tak tahu harus darimana mulai bertanya.
Tiba-tiba ponsel Ustadz Zaki berdering lagi.
“Tolong ini sampaikan saja ke rumahnya, ya. Saya harus segera pergi. Maaf sudah merepotkan dan terima kasih banyak.”
Setelah ku terima paperbag ini, Ustadz Zaki pergi dengan cepat. Rupanya mobil yang ia tumpangi berjarak beberapa puluh meter saja dari tempatku berdiri.
Kenapa Kak Fadlan tidak jadi berangkat ke Kairo? Ini salah satu pertanyaan yang membuat rasa ingin tahu meronta-ronta. Sekalian saja nanti aku tanyakan saat mengantar titipan dari Ustadz Zaki ini.
***Nay Lembayung***
“Nab? Apa kabar?” Kak Fadlan membuka pintu setelah beberapa kali aku mengetuknya.
“Alhamdulillah baik, Kak.”
“Siapa, Fad?” tanya seorang wanita dari dalam. Aku tahu jelas itu adalah suara Ibunya Kak Fadlan.
Beberapa detik kemudian Ibunya Kak Fadlan sudah bergabung dengan kami. Aku mencium tangannya dengan takzim. Cukup lama sejak penolakan lamaran aku tak bertemu dengannya.
Lalu aku pun dipersilakan masuk dan duduk di sofa dekat pintu.
“Nabil masih ngajar di TK? Gimana kalo Nabil ikut ngajar juga di Madrasah tempat Ibu ngajar?” tawar Bu Rosa; Ibunya Kak Fadlan.
“Nabil belum siap kalo harus ngajar di Madrasah, Bu. Di sekolah TK saja Nabil harus masih banyak belajar.” Aku menolak dengan halus.
“Nabil habis nikah masih mau ngajar atau mau berhenti?” tanya Ibu Rosa.
Aku mendongak, meneliti dua orang yang berada di hadapanku. Kak Fadlan selalu menatapku dengan tatapan yang entah.
“Maunya ngajar, tapi gimana nanti kata suami aja, Bu.”
“Ibu lagi masak, nanti kita ngobrol lagi, ya? Ibu tinggal sebentar.” Ibunya Kak Fadlan meninggalkanku berdua.
“Nab, bicaranya kita di luar aja, yuk! Kamu belum mau pulang, ‘kan?” tanya Kak Fadlan.
Kami pun setuju untuk duduk di teras. Menjaga agar kami tidak berdua-duaan. Setidaknya di luar ada ramai kendaraan dan orang berlalu lalang.
“Kak Fadlan bukannya mau ke Kairo?” tanyaku yang sejak tadi penasaran.
“Semuanya sudah siap, Nab. Tapi, saat waktu keberangkatan makin deket, Bapak tiba-tiba kena serangan jantung dan harus dilarikan ke rumah sakit. Kakak khawatir ninggalin kedua orang tua Kakak di sini. Jadi, Kakak memilih untuk gak ngambil beasiswa itu.” Kak Fadlan menekuk wajahnya, ada rasa kecewa yang kentara tergambar di sana.
Hening lalu menjeda kami. Aku terlarut dalam senandika.
“Nab, Kakak sering lihat Fuji bareng-bareng sama tunangan kamu, apa itu gak apa-apa?” Kak Fadlan bertanya hal yang tak ku sangka sebelumnya.
“Sering? Sekali-kali, Kak, lebih tepatnya.” Aku malah berusaha memungkiri yang bisa saja itu fakta sebenarnya.
“Kalau Kakak boleh saran, kamu jangan membiarkan mereka sering pergi bersama. Khawatir hal yang tidak diinginkan terjadi.” Kak Fadlan menasehatiku.
“Aku tahunya mereka pergi sekali-kali. Itu pun kalau bertemu di jalan. Gak ada sengaja mereka pergi bersama tanpa aku, Kak.” Sekuat hati aku menyangkal dugaan salah Kak Fadlan, bukan itu saja, tapi aku sedang membuat hatiku tetap baik-baik saja.
“Meskipun Fuji calon ipar, tetap saja itu tidak diperkenankan. Bahkan setelah menikah pun suamimu tetap bukan mahramnya Fuji.” Kak Fadlan seolah terdengar begitu yakin dengan beberapa prasangkanya. Meskipun ia tidak mengatakan secara tersurat.
“Baik, Kak.”
“Maaf kalau Kakak lancang mencampuri urusan kamu. Kakak hanya ingin berusaha mencegah hal buruk terjadi sama kamu.”
Sontak aku menengok ke arah Kak Fadlan setelah mendengar rentetan kalimat terakhir itu. Binar dan rasa kecewa menyatu dalam satu sorotan mata.
“Makasih, Kakak sudah peduli aku. Semoga Kakak segera dapat jodoh terbaik.” Doaku tulus untuk Kak Fadlan.
Aku pun tak ingin berlama-lama lagi di rumah Kak Fadlan. Ibunya Kak Fadlan masih sibuk memasak. Aku harus menghampirinya ke dapur untuk pamitan.
“Kakak anter, ya?” Kak Fadlan seperti biasa menawariku bantuan.
“Gak usah, Kak. Makasih. Aku jalan kaki aja. Assalamu'alaikum.”
Aku bergegas pergi dari rumah Kak Fadlan sebelum dia terus memaksa ingin mengantarku. Statusku saat ini adalah telah dilamar orang lain. Kalau bukan karena titipan dari Ustadz Zaki, tentu aku takkan pernah berkunjung ke rumah Kak Fadlan. Malu rasanya setelah kejadian waktu lamaran mendadak itu.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Kecemburuan (ON GOING)
RomanceNabila dihadapkan pada dua keadaan yang bertolak belakang dalam sudut hatinya. Ia harus melepaskan kebahagiaannya demi orang lain atau bersikap egois demi kebahagiannya sendiri. Pernah ia meluruhkan ego, nyatanya semua itu ternyata hanya sebuah kes...