Chapter 5

48 3 0
                                    

"Apa kamu gak mau coba lebih mengenal Kakak, Nab? Meskipun sudah kenal sejak kecil, Kakak rasa masih belum cukup," ucap Kak Fadlan membuatku sedikit maju-mundur dengan rasa ini.

Tak sengaja mata kami bertemu, bersirobok dan kudapati binar itu sangat kentara. Apakah sebesar itu harapan Kak Fadlan terhadapku?

Siang ini pun Kak Fadlan berpakaian sangat rapi. Kaus poloshirt warna hitam yang ia padukan dengan celana jeans —ukuran standar— warna coklat membuat penampilannya semakin memesona. Kak Fadlan memang sudah semenarik itu bahkan dari kecil.

Tak tega rasanya jika aku menerima Kak Fadlan dan mengabaikan Kak Fuji. Bagaimana pun juga aku gak mau membuat Kak Fuji sedih dan kecewa. 

"Kenapa Kak Fadlan gak ngelamar Kak Fuji aja? Aku gak enak menerima lamaran ini sedangkan Kak Fuji belum ada yang melamar. Maksudnya gak enak kalo aku menikah lebih dulu." Dengan hati-hati aku bicara ini agar tak terbongkar yang sebenarnya.

"Oh … jadi kamu gak enak karena takut melangkahi Fuji, Nab?" terkanya yang jelas masih salah. Tapi, kalau pun tebakannya benar, apa mungkin aku mengiyakan? 

"Bisa dibilang seperti itu, Kak," singkat saja aku mengiyakan. Kalau mencoba untuk menjelaskan lagi takut malah keceplosan.

"Ya sudah, urusan Fuji gampang. Setidaknya Kakak tahu alasan kamu menolak lamaran kemarin. Tunggu Kakak, ya, insya Allah nanti akan kembali datang ke rumah. Dan Kakak pastikan Fuji sudah memiliki pasangan," janji Kak Fadlan. 

Terenyuh.

Bagaimana tidak, Kak Fadlan seserius itu denganku. Sedangkan, ia tak tahu apa yang sebenarnya. Namun, hatiku semakin kagum karena ia cukup dewasa dengan mengerti aku. Yang tadinya kupikir Kak Fadlan akan menarik diri dan menjauh. Ternyata aku yang punya pikiran kejauhan. 

Kami tidak akan menjalin hubungan apapun. Karena aku tak mau menjalin hubungan apapun selain pernikahan. Untungnya Kak Fadlan tak bertanya tentang hal yang berlebihan atau mengajakku menjalin hubungan yang aku sendiri belum bisa memastikan itu hubungan apa dan tujuannya apa. 

Orang tua murid yang satu persatu berdatangan untuk menjemput anak-anaknya kini sudah sepi. Di dalam kelas tinggal Bu Rasmi dan Bu Tati saja yang sedang menemani Nadia. Kak Fadlan pun menawarkan diri untuk mengantarku pulang.

“Gak usah, Kak. Ngerepotin. Kalo Kakak mau pulang duluan, silakan. Saya masih ada kerjaan,” tolakku halus. Kalau kuiyakan, sama saja bu nuh di ri, Kak Fuji hari ini libur, tentu dia akan ada di rumah.

“Baiklah. Kalo kamu sudah selesai, boleh hubungi Kakak. Nanti Kakak datang untuk menjemput,” tawar Kak Fadlan.

“Insya Allah, Kak.” 

Kak Fadlan pulang menggunakan motor matic premium berwarna hitam. Di dalam helm-nya ia memakai topi. Sejak kecil Kak Fadlan memang jarang sekali lepas dari topi. Kalau tidak memakai topi, maka peci yang akan bertahta di kepalanya.

Ia pun pergi meninggalkan sekolah TK. Katanya ada urusan di Kampus. Sebelum pergi Kak Fadlan sempat menoleh ke arahku dan tersenyum. Aku yang anteng menatap kepergiannya, akhirnya mata kami bertemu dan lagi-lagi tatapannya melesat ke dalam sini. Lama-lama bisa membuatku semakin sulit untuk menghindarinya.

Memang Kak Fadlan ini orangnya cakap. Bahkan di usia yang semuda ini ia sudah menjadi dosen di kampusnya dulu. Padahal aku yakin, banyak mahasiswa yang akan jatuh cinta dengan dosen muda seperti Kak Fadlan, tapi sayangnya perkara hati tak bisa ditebak semudah itu. Ia malah memperjuangkanku yang jelas anak kecil yang dulu sering nangis kalau tidak diajak main.

Aku masuk ke dalam kelas dan mendekati Nadia. Sudah dua jam lebih tapi masih tak ada satu pun yang menjemput Nadia. Kuberanikan diri untuk menanyakannya kepada Nadia. 

Elegi Kecemburuan (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang