Chapter 16

33 2 0
                                    

“Nak Rido ini serius sama Nabila?” tanya Bapak. Aku duduk di samping Bapak. Sedangkan Ibu mengajak Kak Fuji untuk membeli beberapa makanan di kecamatan sebelah.

Biasanya Kak Fuji menolak kalau diminta bantuan oleh Ibu. Mungkin karena ada Mas Rido di sini, ia bersedia. Rupanya Ibu sudah lebih dulu paham apa yang akan dibahas oleh Bapak, sehingga Ibu menjauhkan Kak Fuji lebih dulu.

“Iya, Pak. Saya minta restunya Bapak sama Ibu.”

Aku terenyuh mendengar kalimat itu. Meski aku hanya menerima niat baiknya Mas Rido, tapi aku juga bisa merasakan atmosfer kebahagiaan karena sikapnya ini. Betul kata Bu Rasmi, Mas Rido dewasa orangnya.

“Tentu Bapak merestui. Apa rencana nak Rido selanjutnya?”

“Saya inginnya bertunangan dulu, Pak. Nabila siap menikah apabila Kakaknya sudah lebih dulu menikah.”

Terlihat dari ujung mataku, Bapak nampak terkesiap dengan kalimat Mas Rido. Mungkin hal itu tidak diduga olehnya akan diucapkan oleh Mas Rido.

“Kenapa? Fuji belum ada calonnya. Ini akan memakan waktu yang lama.” Bapak nampak tak setuju.

“Kalau saya ikut bagaimana siapnya putri Bapak saja.”

“Kamu yakin, Nab?” tanya Bapak mengarah padaku.

“Nabil hanya takut menyakiti perasaan Kak Fuji, Pak, kalo Nabil melangkahi dia.”

“Nanti Bapak coba bicarakan sama Fuji. Kalau sudah ada calon, untuk apa ditunda-tunda, kan?”

Aku mengangguk.

“Sementara kita adakan acara pertunangan saja lebih dulu. Biar tak ada yang melamar Nabila lagi.”

“Tapi, Pak, Nabil takut Kak Fuji sakit hati.”

“Kenapa Fuji sakit hati? Kalian itu punya jodohnya masing-masing. Harusnya dia mendukung dan ikut bahagia karena adiknya ada yang melamar.”

Ucapan Bapak memang benar adanya. Namun, aku malah jadi berdebar takut membayangkan bagaimana reaksi Kak Fuji nanti begitu tahu aku akan bertunangan. Ingat waktu keluarga Kak Fadlan datang untuk melamar dan seperti apa reaksinya.

Bersyukurnya untuk kali ini aku tak terlalu merasa bersalah karena jelas Mas Rido lebih dulu mengenalku dibanding Kak Fuji. Sementara Kak Fadlan adalah teman masa kecilnya Kakakku, di situ mungkin aku banyak merasa bersalah, seolah merebut.

“Baik, Pak. Saya nanti akan persiapkan untuk acara pertunangannya. Kedua orang tua saya sudah meninggal, jadi saya mungkin akan membawa Kakak saya.” Mas Rido kembali menegaskan. Hatiku semakin berbunga-bunga.

“Bapak tunggu kabar baiknya.”

Mas Rido terus mengobrol bersama Bapak. Sedangkan aku memilih untuk ke dapur mempersiapkan hidangan makan malam. Ibu sudah belanja beberapa lauknya tadi bersama Kak Fuji.

Setelah shalat maghrib aku dipanggil Ibu. Hari ini Mas Rido diajak makan malam di sini oleh Bapak. Aku yang memasak 80% hidangan, 20% nya lagi dibantu oleh Ibu, seperti membantuku mengiris beberapa sayuran.

Sedangkan Kak Fuji, dia malah bergabung bersama Bapak dan Mas Rido. Meskipun tak banyak bicara, tapi dari posisi duduknya saat ini —yang lurus dengan arah dapur— aku bisa melihat dia sedang mesem-mesem ke arah Mas Rido.

Aku tak memusingkan hal itu. Toh, jodoh sudah ada yang atur. Meskipun sebenarnya agak deg-degan dengan sikap Kak Fuji kalau tahu aku mau dilamar, aku lebih banyak berpasrah.

“Makan yang banyak, Nak. Ini Nabila yang masak.” Bapak membanggakanku.

Aku melirik pada satu persatu wajah yang sedang di meja makan. Terakhir aku mendapati Kak Fuji memiringkan sebelah bibirnya. Mungkin ia tak suka kalau aku dibanggakan.

Elegi Kecemburuan (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang