Chapter 10

42 2 0
                                    

"Bu Guru, kenapa?" tanya Nadia yang sedang menengadah ke arahku.

Aku segera berjongkok untuk meraih tatapannya. "Bu Guru gak kenapa-napa, kelilipan." Apalagi yang harus ku lakukan selain menutupi semuanya ini?

"Nadia punya kacamata di mobil Om, mau Nadia ambilin? Nanti mata Bu Guru perih kalo kelilipan terus."

Polosnya kata-kata Nadia membuatku sedikit terenyuh. Anak sekecil ini begitu perhatian dan peka dengan lingkungan sekitar. Hatiku semakin merasakan sesuatu yang aneh setiap kali melihat tingkah Nadia, aku mulai menyayanginya.

"Gak usah, Nadia. Ibu Guru udah gak apa-apa, kok."

"Kalo gitu, kita main pasir, yuk, Bu Guru?" ajak Nadia, tangan mungil itu menarik jemariku.

Nadia terlihat sangat menikmati jalan-jalannya ini. Ia membuat beberapa bentuk dengan tangan mungilnya itu.

"Nih, Nad, Om bawain ini biar Nadia bisa main masak-masakan pasir." Pak Rido membawa sekantung mainan plastik mirip beberapa wadah seperti ember dan sekop.

Melihat itu Nadia berteriak girang sekali. Ia loncat-loncat dan tak sadar menghancurkan bentuk yang telah dibuatnya tadi.

"Yaah, hancur, Bu Guru …." Wajah Nadia kentara dengan penyesalan.

"Gak 'papa, kita bikin lagi aja, yuk!" ajakku, berharap liburan kali ini akan menjadi liburan yang menyenangkan untuknya.

Akhirnya aku pun asyik membantu Nadia membuat beberapa kue dari pasir. Belum pernah aku bermain pasir seumur hidupku. Aku tak berani meminta pada Bapak dan Ibu untuk liburan.

Dalam pikiranku, tugasku hanyalah diam di rumah dan mengerjakan segala hal yang bisa kukerjakan tanpa keluar dari batas pintu. Bahkan untuk sekadar ngobrol dengan teman sebaya —yang satu kampung— saja jarang ku lakukan. Mungkin sesekali saja itu pun kalau bertemu di Pasar.

"Nadia, Bu Guru mau ke toilet dulu, ya. Gak 'papa Nadia di sini dulu? Nanti Bu Guru minta Om buat nemenin." Aku menunggu responnya.

"Oke, Bu Guru." Anak itu anteng saja dengan mainannya.

Aku pun berjalan menuju gazebo dimana Pak Rido duduk dengan ponsel di tangannya.

"Pak, Nadia masih bermain di sana. Saya khawatir kalau dia sendiri. Bisa ditemani dulu? Saya mau ke kamar kecil," pintaku.

Pak Rido menoleh kepadaku kemudian melihat pada Nadia yang sedang duduk di pasir dengan jarak sekitar sepuluh meter.

Pak Rido menyunggingkan seutas senyum, kemudian ia bangkit. "Baik, Bu Nabil, silakan."

Tak menghabiskan menit bergulir lebih lama, aku sudah kebelet pengen ke toilet.

Setelah selesai dengan hajatku, aku berjalan santai menuju ke tempat Nadia bermain tadi. Rupanya mereka terlihat seru. Apalagi melihat Nadia yang beberapa kali tertawa karena lelucon dari Om-nya itu.

Aku pun kembali bergabung, ada kue ulang tahun yang harus ku selesaikan; maksudnya kue ulang tahun yang terbuat dari pasir. Hihi.

"Wah, kalo ini beneran kuenya, sepertinya enak, Bu," ucap Nadia seraya menatap lekat pada bentuk bundar dengan hiasan kerang-kerang kecil di atasnya.

Kami semua terpaku pada kue palsu itu, sampai tak sadar ombak menghampiri kami dan sukses menghancurkan kue palsu yang telah menyita perhatian itu. Bukan cuma itu saja, pakaian bawah kami bertiga basah semua.

Aku kebingungan, karena tak bawa baju ganti. Atau mungkin karena ini cukup terik, aku berjemur setengah badan saja, ya? Di gazebo tadi terlihat ada sebagian area yang tersorot sinar matahari.

Elegi Kecemburuan (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang