Chapter 26

32 2 0
                                    

Suara jangkrik dari luar rumah tak terdengar begitu jelas. Beberapa hewan malam yang biasanya mengisi malam tak terdengar satu pun. Mungkin mereka memilih bersembunyi karena hujan membawa dingin.

Jendela kamar masih terbuka bekas aku yang tadi sengaja membaca buku di dekat sana. Hawa panas yang aku rasa akhir-akhir ini membuat aku sangat menyukai udara dingin.

Hawa panas ini tak lain berasal dari hatiku. Kalimat Nadia malah membuatku semakin membesarkan buruk sangka kepada Kak Fuji dan Mas Rido. Alih-alih bertanya, aku malah terus berspekulasi sendiri.

Hendak menutup jendela, aku melihat sebuah mobil berwarna merah berjenis sedan berhenti di depan rumah. Aku tertegun siapa yang hendak berkunjung.

Tak berselang lama, Kak Fuji keluar dari pintu depan sebelah kiri dengan memegang tas di kepala, mungkin agar kepalanya terhalang air hujan. Ia menunduk sepertinya berbicara dengan orang yang ada di dalam mobil. Lalu berdiri hingga mobil itu kembali melaju.

Aku pun menutup jendela dengan perasaan semakin tak karuan tiap kali melihat Kak Fuji.

***Nay Lembayung***

“Assalamu'alaikum.” Suara yang begitu ku kenal. Mungkinkah Mas Rido?

Aku yang sedang sibuk di dapur, menyimpan pi sau dan berjalan menuju pintu depan. Tak ada orang di rumah ini pada hari Minggu pagi.

Kak Fuji berjalan-jalan bersama Bapak dan Ibu. Sedangkan aku memilih untuk menyiapkan sarapan untuk semua orang.

Pintu ku buka, pandanganku menatap ke arah bawah. Lalu aku segera mendongak begitu tahu bahwa yang datang adalah laki-laki yang sudah mengisi ruang hatiku beberapa bulan ini.

“Mas abis olah raga?” tanyaku. Tentu saja karena melihat pakaian yang Mas Rido kenakan adalah t-shirt dan juga celana pendek juga sepatu dan topi.

“Iya. Mas abis dari SOR Sudirman. Inget kamu, jadi Mas mampir ke sini.” Mas Rido dengan senyuman mengembang.

“Yuk, masuk!” ajakku. “Mau minum air putih, kopi atau teh?” Ini kali pertama aku bertemu Mas Rido sehabis olah raga.

“Air putih aja, Nab.”

Aku pun mengangguk dan menuju dapur untuk mengambilkan minum untuk Mas Rido.

“Tumben Mas olah raga.” Aku memulai obrolan.

“Iya. Kemarin-kemarin sibuk terus banyak meeting sama pusat. Rasanya Mas penat dan mungkin dengan olah raga bisa sedikitnya membuang racun.” Mas Rido mengambil gelas berisi air putih yang aku suguhkan. “Oh iya, Mas ada rencana cuti. Nabil mau nemenin Mas traveling?” imbuh Mas Rido lagi.

“Kemana, Mas?”

“Belum tahu. Masih rencana. Itu juga entah bakal acc atau enggak. Cuma emang Mas butuh banget liburan.”

“Oh gitu. Mas, duduk dulu aja istirahat di sini, ya! Aku masih masak. Nanti selesai masak aku temenin. Gak ‘papa?”

“Gapapa, Nab. Kamu bisa masak dengan tenang. Mas di teras aja, ya. Gak enak kalo berdua di rumah.” Mas Rido mengembangkan senyum. Keringatnya terlihat mengucur sesekali di dahinya.

“Oke. Makasih udah pengertian.”

Aku pun pergi ke dapur. Dua menu masakan lagi saja yang harus aku selesaikan. Mas Rido tidak akan menunggu lama. Hanya goreng ayam dan sambel khas cibiuk saja.

Sambil menggoreng ayam, sebaiknya aku sesekali menengok Mas Rido, takutnya ia bosan menunggu.

Sampai di ruang tamu aku berhenti melangkah. Gorden vitrase yang dipasang di ruang tamu sedikit menunjukkan bayangan Mas Rido yang duduk di kursi depan. Ku teliti pria itu dengan saksama, ia mendekati sempurna untukku. Dan, aku bersyukur ia memilihku.

Sampai sejauh ini bahkan ia begitu menghormatiku. Seperti hari ini yang ia rela menunggu di luar.

Aku kembali berjalan dan terus melihat Mas Rido. Ia asyik dengan ponsel di tangannya. Aku berdiri di ambang pintu, saking antengnya ia bahkan tak menyadari kehadiranku.

Ia sedang mengetik sesuatu di sana. Terlihat dari jempolnya yang bergerak terus menerus. Mas Rido masih tidak menyadari sampai aku kembali masuk untuk meneruskan memasak. Aku pikir tadinya Mas Rido akan bosan, rupanya dia sedang menikmati waktunya dengan ponsel. Kalau begitu aku akan segera menyelesaikan masakanku.

Beberapa belas menit berlalu, masakan pun sudah siap disajikan. Aku menatanya di meja makan sebelum keluar dan menemui Mas Rido lagi.

Dalam jarak beberapa meter aku mendengar suara Mas Rido yang tengah mengobrol. Penasaran, aku pun terus berjalan dan menemukan Mas Rido sedang berbicara dengan Kak Fuji. Sedikit terkejut, apalagi aku tak menemukan Bapak dan Ibu.

“Bapak sama Ibu mana, Kak?” tanyaku pertama kali.

Aku menyisir wajah Mas Rido dan Kak Fuji yang nampak semringah. Sejak kapan mereka jadi akrab? Bukannya Mas Rido selalu memilih tak banyak bicara saat ada Kak Fuji?

“Mereka masih di car free day. Kakak pulang duluan. Panas, gerah. Ya udah, karena kamu udah di sini, Kakak masuk dulu kalo gitu. Mau mandi.” Kak Fuji beranjak. Ia mengangguk sopan dengan maksud berpamitan kepada Mas Rido.

“Mas, kita sarapan bareng, setelah Ibu sama Bapak nyampe, ya.” Aku pun duduk di kursi bekas Kak Fuji.

“Iya, Nab.”

“Nadia dimana, Mas? Di rumah Mas Rido atau di rumah Maminya?” tanyaku tiba-tiba teringat dengan gadis kecil itu.

“Dia lagi di rumah Maminya. Tadinya mau Mas ajak olah raga, tapi belum bangun kata Maminya.”

Aku membulatkan bibir membentuk huruf o.

Tak berselang lama, kedua orang tuaku pun sampai. Bapak seperti biasa menyambut Mas Rido dengan hangat. Perutku sudah cukup keroncongan untuk menunda waktu sarapan lagi. Tanpa basa-basi aku pun mengajak semua orang untuk sarapan.

“Fuji belum diajak, Nab,” cetus Mas Rido.

Hatiku kembali terkejut, biasanya Bapak yang mengingatkan kalau Kak Fuji belum bergabung. Hari ini malah Mas Rido yang menyadari kalau Kakakku itu masih di kamarnya. Prasangka dalam dada semakin terpupuk dengan baik.

“Panggil Fuji, Nab!” pinta Bapak.

Aku mengangguk, lalu bangkit untuk memanggil Kak Fuji.

Beberapa kali pintu kamarnya ku ketuk, akhirnya Kak Fuji muncul dengan seragam lengkap khas Beauty Advisor. Saat orang lain libur di akhir pekan, justru Kak Fuji memang tak diperbolehkan libur.

Kami berjalan dengan Kak Fuji di belakangku, ia anteng dengan ponsel di tangan. Sampai anak tangga paling bawah Kak Fuji mendahuluiku. Dan … seperti biasa, ia mengambil tempat duduk di samping Mas Rido. Selama beberapa bulan hubunganku dengan Mas Rido dan juga beberapa waktu Mas Rido makan bersama di rumah, Kak Fuji selalu melakukan ini. Aku mulai jengah dengan sikap Kakakku itu. Ia semakin tak menghargaiku.

“Pak, Bu, Fuji pamit, ya. Takut kesiangan.” Kak Fuji sudah menyelesaikan sarapan.

Aku melirik jam yang terpasang di dinding. Biasanya Kak Fuji berangkat jam 08.30, ini masih pukul 08.00. Terlalu pagi berangkat kerja. Sedangkan perjalanan pun tidak menempuh waktu lama.

Ponsel Mas Rido berbunyi. Ia pun izin mengangkat telepon.

Sambil menunggu, aku membereskan bekas makan.

“Pak, Bu, saya pamit ya. Ada tamu yang datang ke rumah.” Mas Rido muncul setelah menghabiskan beberapa menit teleponnya.

“Nab, Mas pamit, ya. Nanti Mas telepon atau chat.”

“Baik, Mas.”

“Hati-hati di jalan, Nak Rido!” kata Ibu.

Mas Rido ku antar hingga depan rumah, ia tak melambaikan tangan seperti biasa, terkesan buru-buru. Bahkan ia seperti tak menyadari kalau aku mengantarnya sampai depan. Apakah ada yang terjadi di rumahnya? Aku tak ingin berspekulasi.

*

Elegi Kecemburuan (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang