“Kamu siap berangkat?” tanya Mas Rido sudah siap dengan kemudinya. Tunanganku ini baru saja pamit kepada Ibu dan Bapak. Barang-barangku dan Kak Fuji sudah aman di bagasi mobil.
“InsyaAllah siap, Mas.” Aku berseri-seri. Libur panjang dimulai. Sekali-kali keluar dari rumah dalam beberapa waktu bersama calon suami dan Kakakku.
Kak Fuji duduk di seat dua. Tidak seperti biasanya ia mendahului duduk di kursi samping pengemudi. Seolah legowo kalau ia tak boleh banyak bertingkah seperti kata Ibu dan Bapak.
Tak ada raut kesal atau badmood saat Kak Fuji duduk di seat dua. Ia masih begitu riang karena hendak pergi denganku dan Mas Rido.
Tujuan kami liburan adalah menikmati alam. Hari ini kami akan menuju ke sebuah pemandian yang terletak di daerah bernama Darajat. Di sana ada hotel yang sudah Mas Rido booking. Bukan hanya hotel, kolam pemandian air panas juga tersedia.
Seluruh perlengkapan sudah kami siapkan semuanya karena sejak Mas Rido diberitahu kalau kami bisa pergi, dia langsung membuat pemesanan hotel di beberapa destinasi. Dia juga memberitahukan kepadaku agar aku dan Kak Fuji bersiap untuk semua perlengkapan. Kami cukup tahu diri untuk tidak membuat Mas Rido mengeluarkan uangnya untuk perlengkapan yang lupa kami bawa. Jadi, persiapan sangat diperhatikan.
Di perjalanan ini sesekali Mas Rido melirik ke arahku, lalu mengukir senyum. Kak Fuji juga sedang anteng dengan headphone dan ponselnya. Ia duduk dengan nyaman di seat kedua.
“Laper?” tanya Mas Rido. “Kita istirahat sebentar.”
“Iya, Mas. Pengen meregangkan otot. Kalo Mas laper, sekalian makan dulu.”
Kak Fuji tertidur di seat kedua. “Kak, bangun! Kita makan dulu.” Aku menggoyangkan tubuh Kak Fuji. Dia menggeliat.
“Nanti aja.” Kak Fuji membuka matanya sedikit lantas memilih untuk tidur lagi.
“Mas, Kak Fuji tidur. Nanti aja dia makannya. Kasihan juga kalo dibangunin sekarang.”
Mas Rido pun mendekati mobil kembali. Ia membuat seluruh jendela mobil terbuka.
“Kita duluan aja, Nab.” Mas Rido menutup pintu mobil bagian kemudi.
Rumah makan tempat kami berhenti adalah sebuah Rumah Makan Ampera. Aku dan Mas Rido berjalan masuk sambil ku gandeng tangan kiri Mas Rido. Ia tersenyum ke arahku.
Ada hal yang membuatku bersalah sampai saat ini terhadap Mas Rido. Di usianya yang sudah siap menikah, ia harus rela menungguku siap untuk dinikahi. Aku masih tak sampai hati melangkahi Kakakku ini.
“Maafin aku, Mas.” Aku menunduk. Tak berani menatap kedua netranya.
“For?” tanya balik Mas Rido.
“Kita masih belum bisa menikah.”
Mas Rido tersenyum begitu teduh, “jangan minta maaf. Mas baik-baik aja selama masih bersama dengan orang yang Mas cinta.”
Aku mengukir senyuman yang sama, senyuman yang berasal dari dalam hati. Kalimat Mas Rido membuat gelenyar rasa nyaman setiap kali aku berada di sampingnya.
Kami makan dalam hening. Beberapa kali kami tak sengaja bertemu tatap hanya untuk saling melempar senyuman. Memang saat bersama Mas Rido aku tak banyak bercerita. Seolah hati kami saja yang saling mengerti.
“Mas ke toilet dulu bentar,” ucapnya buru-buru.
Mas Rido meninggalkan ponselnya dalam keadaan menyala. Rasa penasaran menyeruak. Hubungan kami belum genap satu tahun, tapi aku bahkan tak pernah tahu isi ponselnya. Semuanya karena rasa percayaku kepada pria yang telah melamarku ini.
Sekarang saat melihat ada kesempatan dan ucapan Nadia kembali terngiang, aku memberanikan diri untuk mencari tahu, berharap tak ada hal yang menyakitkan di sana.
Aku pun mencari tahu di aplikasi Whatsapp milik Mas Rido. Beberapa kali aku lihat di sana tak ada satu pun hal yang mencurigakan. Lalu, aku melihat ada pesan baru dalam arsip.
Tanganku menuju ke sana. Lalu aku melihat kontak Kak Fuji di dalam sana. Pikiranku tiba-tiba menerka, apa mungkin Mas Rido menyembunyikan ini atau justru terganggu dengan Kak Fuji yang kadang suka tiba-tiba chat?
Sesekali aku melirik ke arah toilet, takut Mas Rido keluar. Aku pun masuk ke dalam pesan Kak Fuji itu.
[Aku seneng kita bisa liburan bareng. Makasih ya kamu ngabulin keinginan aku buat liburan. Meskipun sama Nabila.]
Deg!
Ada sesuatu yang menghantam rongga dada. Kalimat itu bagai tombak yang melesat hingga menusuk ulu hati. Buru-buru aku keluar dari aplikasi Whatsapp dan membuat ponsel Mas Rido terkunci.
Aku pun kembali dengan hidangan di meja. Pura-pura tidak terjadi apa-apa. Meskipun debaran jantungku sedang kencang, napasku tersengal, aku tetap berusaha biasa, agar Mas Rido tak tahu apa yang barusan ku temukan dalam ponselnya.
“Nab, kita bungkus juga buat Fuji, ya?” Mas Rido berujar.
Tentu saja luka yang terasa sejak tadi seolah ditetesi oleh air jeruk nipis, perih semakin menjadi. Mas Rido perhatian —kepada Kakakku— yang biasanya dia tak acuh.
“Iya, Mas. Kak Fuji tadi sarapannya cuma sedikit.” Aku memaksakan senyuman. Semoga ia tak menyadarinya.
Selesai dengan makan siang, kami melanjutkan perjalanan. Jarak yang ditempuh sekitar satu jam lagi kurang lebih.
Pikiranku semakin berkecamuk. Banyak senandika yang terus berisik di dalam sini. Entah aku terlalu termakan oleh perasaan burukku atau memang kenyataan sedang tidak baik-baik saja.
“Nab, masih jauh?” Suara Kak Fuji, ia menggeliat setelah nyenyaknya tidur.
“Masih, Kak.”
“Kakak laper.”
“Ini ada makanan buat Kakak.” Aku menyodorkannya setelah beberapa saat ada dalam pangkuanku.
“Kamu kenapa gak bangunin Kakak?” protes Kak Fuji.
“Tadi Nabila bangunin, kamunya aja yang gak mau bangun.” Mas Rido yang menjawab.
Kak Fuji hanya berkata “oh”.
Perjalanan sekitar satu jam itu sudah kami tempuh dengan lancar. Tak ada kemacetan yang sudah aku takutkan sejak berangkat. Libur panjang pasti orang-orang punya pikiran yang sama untuk menghabiskan waktu dengan liburan.
Tempat yang Mas Rido sewa ini rupanya berada hampir di puncak gunung. Ini adalah gunung tempat lokasi pembangkit listrik dengan panas bumi. Akses kendaraan bahkan sampai ke puncak karena di sana ada pabrik yang mengelolanya. Kendaraan proyek, orang-orang berseragam proyek sering terlihat mondar-mandir.
“Yakin Mas nginep di sini aman?” Aku ragu. Pasalnya di sini ada suara berisik yang tentu saja timbul dari proses penyaluran panas bumi.
“Aman. Tenang aja.” Mas Rido menjawab tanpa menoleh. Ia sedang mengeluarkan barang-barang dari mobil.
“Kita bisa menikmati alam di sini. Kamu gak usah takut. Banyak yang nginep di sini, reservasinya selalu penuh saat libur. Untung Mas bisa dapet dua kamar.” Mas Rido berhenti sejenak. Menatapku seolah ingin meyakinkan.
“Syukurlah. Semoga bisa jadi liburan yang menyenangkan untuk kita semua.”
Untuk sejenak aku melupakan hal yang sedari tadi melukai hati. Semoga saja aku hanya terlalu berburuk sangka dan kenyataannya tidak terjadi apa-apa.
*
Hayuuuuu voteeee!
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Kecemburuan (ON GOING)
RomansaNabila dihadapkan pada dua keadaan yang bertolak belakang dalam sudut hatinya. Ia harus melepaskan kebahagiaannya demi orang lain atau bersikap egois demi kebahagiannya sendiri. Pernah ia meluruhkan ego, nyatanya semua itu ternyata hanya sebuah kes...