Chapter 25

27 2 1
                                    

Sore hari yang cerah, aku duduk di balkon dengan sebuah novel dan segelas air teh tawar hangat. Rumah sudah beres, bunga-bunga sudah ku siram. Santai sejenak menikmati waktu-waktu sendiri.

“Nab, ada Fadlan!” teriak Ibu dari dekat tangga.

Aku menyisipkan sebuah kertas warna pink sebagai label pada halaman yang terakhir aku baca. Lalu aku membawa buku dan teh tawar hangat ke dalam rumah.

Buku novel aku simpan di kamar, lalu aku turun ke lantai satu. Dari pertengahan tangga, aku sudah melihat Kak Fadlan sedang menatap ke arah tangga dari ruang tamu.

“Kak!” sapaku.

“Apa kabar, Nab?” tanyanya basa basi.

“Saya baik, Kak. Kakak sendiri?”

“Yah … kabar Kakak kurang baik.”

Aku hampir menautkan kedua alisku. Kalimat Kak Fadlan terdengar tabu.

“Nabil sudah tunangan, betul?” tanyanya.

“Iya, Kak.” Apalagi yang harus aku katakan selain menjawab pertanyaannya.

“Pria yang waktu itu makan malam bersama di sini, Nab? Kapan kalian bertemu dan saling kenal?” tanyanya seolah sedang mematahkan perasaannya sendiri. Bahkan aku dapat merasakan gelenyar perih itu dari kata-kata yang terucap.

“Kamu inget pernah janji mau nunggu Kakak menyelesaikan urusan Fuji?” todongnya.

“Maafin aku, Kak. Aku gak punya alasan buat nolak.” Aku semakin tersudut saja. Entah kenapa rasanya pelik sekali saat Kak Fadlan melamarku waktu itu. Tentu saja alasan perasaan Kak Fuji yang kuat.

“Qadarullah, Nab. Mungkin Kakak memang tidak ditakdirkan untuk menjadi jodoh Nabil. Kakak ke sini gak berniat membuat Nabil sedih atau bersalah. Cuma mau ngasih ini.” Kak Fadlan mengulurkan sebuah paperbag yang diambilnya dari bawah meja.

“Kakak gak bisa hadir di acara pertunangan kamu kemarin. Dan sekalian mau pamit. Kakak mau lanjut sekolah di Kairo. Berangkat besok siang.”

Aku semakin berada di jurang rasa bersalah. Sikap Kak Fadlan memang penyabar. Dulu ia melamar dengan tiba-tiba dan aku terlalu takut menyakiti perasaan Kak Fuji. Sedangkan saat Mas Rido yang melamar, entah kenapa aku begitu yakin untuk terus maju.

Bukan hanya itu, kedua orang tuaku pun setuju dan mendukungku untuk menerima Mas Rido. Mereka begitu yakin untuk menjadikan Mas Rido menantu. Entah ada hal apa, yang pasti satu sisi aku lebih mendengarkan pendapat kedua orang tuaku.

“Hati-hati, ya, Kak! Semoga Kakak bisa menempuh pendidikan dengan lancar dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat.”

“Aamiin. Kalo gitu Kakak permisi, ya, Nab.” Kak Fadlan beranjak.

Aku tak mengantarnya sampai depan, hanya melihat Kak Fadlan pergi dari dalam rumah. Ada raut wajah kecewa tergambar di sana. Kak Fadlan orang yang baik, aku bahkan begitu mengaguminya sebelum kenal Mas Rido.

Dalam hati aku berharap semoga Kak Fadlan akan mendapatkan jodoh yang baik.

***Nay Lembayung***

“Hati-hati di jalan, ya!” ucapku kepada anak-anak murid yang telah selesai melaksanakan proses belajar. Mereka sudah ditunggu sejak beberapa menit yang lalu oleh keluarganya yang hendak menjemput.

“Bu Guru, Mami sama Papi hari ini gak bisa jemput Nadia. Om Rido juga katanya ada meeting. Kalo Nadia ikut ke rumah Bu Guru, boleh gak?” tanya Nadia yang masih menggenggam tanganku setelah ia menciumnya dengan takzim.

Aku memilih berjongkok agar kami nyaman berbicara karena sejajar.

“Tentu saja boleh. Kita bikin brownies lagi, yuk?” ajakku.

“Mau.” Nadia menjawab antusias.

Setelah berpamitan dengan Bu Tati dan Bu Rasmi, aku berjalan menyusuri jalanan desa bersama Nadia yang ku tuntun.

Sepanjang perjalanan aku membuat Nadia bernyanyi dengan membuat lagu yang terputus-putus. Lagu anak kecil seperti pelangi, bintang kecil dan anak gembala. Terik di siang hari ini pun membuat aku berbagi payung dengan anak gadis kecil ini.

Sampai setelah berjalan sekitar 15 menit, kami pun sampai di rumah. Nadia disambut hangat oleh Ibu yang tengah menyiangi tanaman liar di pot yang berisi bunga-bunga kesayangannya.

“Nadia sudah makan?” tanya Ibu.

“Belum, Oma. Nadia laper.” Seperti tak ada lagi istilah asing diantara mereka. Nadia memang polos dan jujur.

“Nab, ada lauk di meja makan. Ibu tadi masak. Ajak Nadia makan!” pinta Ibu.

“Baik, Bu. Yuk, Nad!” ajakku seraya mengangkat tangan untuk bergandengan bersama Nadia menuju dapur.

“Makasih, Oma,” ucapnya dengan suaranya yang lucu.

Aku berjalan masuk dengan Nadia yang mengekor di belakangku. Dia duduk dengan manis di meja makan dan aku siap untuk mengambilkan makan siangnya yang dirasa lebih cepat ini.

Kak Fuji datang tanpa mengucap salam. Ia sempat melirik kami berdua, lalu kembali fokus dengan ponselnya.

“Itu barusan siapa, Bu?” tanya Nadia.

Mungkin anak sekecil ini pun merasa aneh saat ada orang dewasa yang masuk tanpa mengucap sepatah kata, minimal salam. Malah pergi begitu saja setelah sempat beradu tatap beberapa detik.

“Itu Kakaknya Bu Guru, Nad.”

“Oh … pantesan pernah nginep di rumah Om,” ucap Nadia kemudian menyendok nasi lalu menyuapkannya ke mulut.

Aku tercengang dengan kalimat Nadia. Setelah mengucap kalimat ambigu itu Nadia terlihat polos dan seolah-olah tak ada hal yang aneh.

“Nadia barusan bilang apa?” Aku ingin memastikan daripada salah dengar.

“Itu … Tante barusan pernah nginep di rumah Om Rido. Nadia waktu itu juga nginep di rumah Om.” Nadia menjelaskan lebih panjang.

Seperti ada bom yang telah meledak dalam dada. Tubuhku sedikit gemetar. Tidak mungkin kalau Nadia mengada-ada. Anak kecil adalah makhluk yang jujur. Tidak terlintas bahkan dalam benakku kalau Nadia mengarang cerita.

“Nadia mimpi mungkin ya?” tanyaku masih dengan sisa rasa tak percaya, meski delapan puluh persen aku sudah meyakini kebenaran ucapan anak muridku ini.

“Enggak, Bu Guru. Nadia gak mimpi. Tante itu datang pas Nadia mau tidur abis nonton tv.”

Rasanya tak perlu semakin menunjukkan rasa tidak percaya sama Nadia lebih lama lagi. Untuk konfirmasi aku sebaiknya bertanya pada Mas Rido.

“Itu kapan? Udah lama?” tanyaku untuk memastikan waktunya. Sebelum nanti mencari tahu.

“Belum lama, Bu Guru. Nadia lupa hari apa.” Anak gadis ini masih menikmati makanan di piringnya.

“Ya sudah, nanti biar Bu Guru tanya sama Om, ya?”

“Kata Tante itu jangan bilang ke Bu Guru, nanti Bu Guru nangis. Bu Guru janji gak nangis, ya?” Nadia menatapku dengan harap.

Aku terkekeh. Meskipun sebenarnya hatiku cukup tersayat. Aku hanya memastikan Nadia baik-baik saja dan tak merasa bersalah.

“Tenang aja. Bu Guru baik-baik aja, kok.” Aku berbohong. “Mau tambah lagi makannya?” tawarku mengalihkan topik pembicaraan.

“Mau, Bu Guru.” Nadia menyodorkan piringnya.

*

Yuk vote nya jangan lupaaaaa🩷

Elegi Kecemburuan (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang