Sudah beberapa kali mengucap salam, tak juga ada sahutan dari dalam. Aku memutuskan untuk membuka handle pintu, mungkin Mas Rido sedang tidur di dalam kamarnya.
Pagi ini aku memang izin tak masuk kerja karena hendak menjenguk Mas Rido dan merawatnya seharian ini. Nanti Nadia dan Mamanya akan datang seusai pulang sekolah.
Dengan langkah pelan, aku memasuki rumah Mas Rido dengan tetap ku ucapkan salam walau tak ada yang menjawab.
Setelah melewati area ruang tamu, aku mendengar suara dua orang yang sedang tertawa berasal dari belakang rumah. Mungkin ada saudaranya Mas Rido yang juga sedang menjenguk.
Aku meletakkan puding buah dan susu kotak kemasan satu liter di meja dapur. Langkahku tentu saja ke arah belakang rumah. Ada sedikit lega karena suara tawa Mas Rido sempat terdengar.
“Mas Rido! Kak Fuji!” Aku membekap mulut dengan mata membulat. Suaraku tercekat dengan pemandangan ini. Lalu seolah ada yang menghantam dadaku karena rasanya tiba-tiba sesak dan ada bara yang mulai membesar.
Aku melihat Mas Rido yang sedang duduk memeluk Kak Fuji —dari belakang— di sofa panjang yang terletak dekat kolam ikan. Mereka sedang asyik memainkan ponsel yang dipegang oleh Kak Fuji.
Ada tali tak kasat mata yang tiba-tiba mengekang dada dan seiring itu ada air yang mulai mengaburkan pandangan. Tak mampu berdiri lebih lama, aku pun kembali mengambil langkah dan segera keluar dari rumah Mas Rido sebelum ia mulai menyadarinya.
***Nay Lembayung***
“Hey, kok bengong?” Seseorang tiba-tiba saja muncul di depanku. Aku mengerjap dan ternyata Kak Fadlan yang ada di hadapanku. Buru-buru aku menyeka wajah yang sudah kering air matanya, karena mungkin saja masih menyisakan bekas.
“Kak Fad lagi di sini?” tanyaku, tentu saja seraya menunduk, berharap Kak Fadlan tak melihat wajahku yang mungkin sembap ini.
“Apa kabar Nabila? Lama tak berjumpa.” Kak Fadlan beralih posisi menjadi di sampingku. Ia menyejajari langkahku.
Aku baru pulang mengajar dan sekarang sedang berjalan menuju rumah. Benakku dipenuhi oleh bermacam-macam pikiran sehingga aku tak fokus saat sedang berjalan.
“Alhamdulillah saya baik, Kak.”
“Kamu kenapa melamun? Jangan jalan kaki sambil ngelamun, nanti kesandung!” Kak Fadlan masih berusaha mencairkan suasana. Aku tak enak hati, karena pernah mematahkan harapannya. Hati ini cukup lega karena Kak Fadlan tidak melihat wajahku.
“Gak kenapa-napa. Capek aja. Hehe.” Aku menarik kedua sudut bibir ke atas tanpa menoleh ke arah Kak Fadlan.
“Fuji ada di rumah? Dia udah punya pacar?” tanya Kak Fadlan tiba-tiba.
Aku menoleh cepat. Kak Fadlan hanya terkekeh.
“Kak Fuji … udah punya pacar, Kak.”
“Siapa?”
“Tunanganku sendiri, Mas Rido, Kak.” Aku berbisik dalam hati. Belum mampu menceritakan hal ini kepada siapa pun.
“Gak tahu, Kak. Yang pasti Kak Fuji sudah punya pacar. Tiap malem teleponan, kok.” Aku terpaksa berdusta, menutupi hal yang bisa memalukan keluargaku sendiri.
“Nanti Kakak boleh maen ke rumah? Dah lama gak ketemu sama Bapak sama Ibu.”
Aku hanya mengangguk dan terus dengan langkah maju.
“Makasih, ya. Kalo gitu Kakak duluan, mau ke rumah Pak Ari.” Kak Fadlan pun masuk ke gang sebelah kiriku. Ia berjalan dengan langkah cepat.
Kalau dulu hal-hal yang berkaitan dengan Kak Fadlan aku selalu merasakan getaran dalam hati, sekarang semuanya seolah tak lagi bersarang di sana. Hatiku kembali biasa saja dengan hal itu.
***Nay Lembayung***
“Nab, panggil Fuji, kita makan malam bersama!” pinta Ibu setelah mencicipi soto yang telah matang.
“Baik, Bu.” Meskipun aku malas berinteraksi dengan Kak Fuji, aku harus tetap patuh dengan perintah Ibu.
Aku pun membuka celemek berwarna abu muda ini, lalu melipatnya dan disimpan ke dalam lemari dekat kulkas.
Aku mengetuk pintu kamar Kak Fuji yang hening. Beberapa kali ku ketuk tak ada sahutan juga.
Entah keberanian dari mana, aku membuka pintu kamar Kak Fuji yang ternyata tidak dikunci. Di dalam kamar ini terdengar suara dari balik kamar mandi, rupanya Kak Fuji sedang di sana.
Ponsel Kak Fuji mengeluarkan suara notifikasi. Perhatianku teralihkan ke sana. Aku yang penasaran akhirnya mendekat ke tempat ponsel diletakkan.
Lagi-lagi hatiku tercabik, aku melihat di layar ponsel Kak Fuji adalah foto Kak Fuji dan Mas Rido berdua sedang tersenyum bahagia.
Sudah cukup rasanya. Aku tak ingin lagi berurusan dengan Mas Rido ataupun Kak Fuji. Akan ku biarkan mereka bahagia dengan perasaannya masing-masing.
“Mana Fuji, Nab?” tanya Ibu.
“Lagi di kamar mandi, Bu.”
“Kamu kenapa, Nak?” tanya Ibu. Mungkinkah Ibu tahu apa yang sedang aku rasakan?
“Nabil gak kenapa-napa, Bu. Cuma lelah aja.” Aku berbohong. Suatu hari nanti aku akan memberitahu Ibu dan Bapak tentang hal ini.
“Gimana nak Rido kabarnya sekarang?” Ibu memang tahu kalau kemarin pagi aku menjenguk Mas Rido.
“Sudah mendingan, Bu.”
“Syukurlah kalo begitu. Dia mungkin banyak pikiran setelah ditanya Bapak.”
Aku tak bisa menjawab hanya mampu mengukir senyum saja demi menanggapi kalimat Ibu.
Tak berselang lama, Kak Fuji pun turun seraya memainkan ponsel dia berjalan menuruni anak tangga.
“Fuj, jalan yang bener, hapenya taro dulu, jatuh nanti kamu!” teriak Ibu saat melihat Kak Fuji.
Kak Fuji tak menanggapi, ia menaruh ponselnya ke dalam saku celana, lalu turun dan bergabung bersama kami di meja makan.
Kemudian Ibu memanggil Bapak untuk makan malam bersama.
Makan malam bersama ini terasa begitu tenang. Tak ada percakapan diantara kami.
Ponsel Kak Fuji berbunyi dan menampilkan foto dirinya dan Mas Rido di sana.
“Itu foto siapa barusan?” tanya Bapak yang ternyata juga sempat melihat ponsel Kak Fuji menyala.
“Foto Fuji sama pacar.” Tanpa rasa bersalah Kak Fuji mengakui Mas Rido sebagai pacarnya.
“Coba Bapak lihat! Seneng Bapak, akhirnya kamu dapat pacar.” Bapak terlihat semringah.
“Gak sekarang, Pak. Nanti Fuji kenalin langsung.”
Aku hanya bisa membisu, padahal aku bisa saja menjawab itu adalah Mas Rido. Pasti Bapak akan memaksa Kak Fuji untuk menunjukannya.
Ah, kenapa rasanya semua jadi rumit begini.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Kecemburuan (ON GOING)
RomanceNabila dihadapkan pada dua keadaan yang bertolak belakang dalam sudut hatinya. Ia harus melepaskan kebahagiaannya demi orang lain atau bersikap egois demi kebahagiannya sendiri. Pernah ia meluruhkan ego, nyatanya semua itu ternyata hanya sebuah kes...