“Pak Rido besok ngantor?” tanya Kak Fuji seraya membuat arah tubuhnya menghadap Mas Rido yang sedang dalam kemudi.
Iya, aku duduk di seat dua. Sewaktu mau naik ke mobil, Kak Fuji berjalan lebih dulu dan membuka pintu sebelah kiri pengemudi. Aku menatap ke arahnya, ia hanya menatapku dengan dingin.
Malu rasanya kalau memperebutkan hal seperti ini, akhirnya aku memilih untuk duduk di seat dua, meskipun aku yakin Mas Rido pasti bertanya-tanya setelahnya.
Begitu semuanya sudah di mobil, Mas Rido melirik ke arah seat dua; kepadaku. Dari tatapannya, aku harus menyiapkan jawaban kalau saja ia akan bertanya nanti.
“Halo, Fad!” Kak Fuji baru saja menerima telepon. “Ada. Bentar.”
“Nab, Fadlan mau ngomong.” Kak Fuji menyodorkan ponsel miliknya.
Aku menerima ponsel, lantas mulai berbicara dengan seseorang di seberang sana.
“Apa kabar, Nab? Kok, saya gak bisa hubungi kamu?” tanya Kak Fadlan.
“Ponselku mati, habis baterainya. Ada apa, Kak?”
“Kamu kapan ada waktu? Saya mau bicara.”
Deg!
Suasana di mobil begitu hening. Aku bingung harus menjawab apa. Posisiku saat ini adalah tunangannya Mas Rido. Aku tak mungkin memutuskannya sendiri.
“Bentar, Kak. Nanti saya chat.” Aku memang harus memutuskan telepon ini dulu untuk mencari pendapat Mas Rido.
“Oke, saya tunggu, Nab.”
Setelah telepon dimatikan, aku mengembalikannya pada Kak Fuji.
“Mas, barusan Kak Fadlan nanya katanya mau ketemu sama aku, ada yang mau dibicarain.” Aku tak menunggu Mas Rido bertanya. Daripada membuatnya penasaran atau malah berpikiran kemana-mana, sebaiknya aku yang membahasnya lebih dulu.
“Terserah aja. Kamu atur waktunya, nanti Mas temenin.” Jawaban yang memang aku ingin dengar.
“Emang Fadlan mau bicara sama kalian berdua atau Nabila aja?” Kak Fuji menimbrung.
“Ya sama aku sama Mas Rido, dong, Kak.”
“Yakin? Dia itu maunya bicara sama kamu aja. Kalo sama Pak Rido, nanti kasian tunangan kamu malah jadinya dicuekkin.” Kalimat Kak Fuji cukup memprovokasi.
“Bener juga. Ya sudah, kamu temui aja Fadlan. Nanti setelahnya kamu bisa nyeritain sama Mas.” Mas Rido berbicara sambil melirik ke arah spion tengah.
“Tapi, Mas—“
“Gak ‘papa, Mas percaya sama Nabil.” Senyuman teduh itu meyakinkanku.
Aku beruntung karena akan dipersunting oleh pria yang pengertian dan dewasa. Sikapnya selalu membuatku tenang dan yakin. Aku bersyukur karena tidak salah pilih.
“Pak Rido besok ngantor?” Kak Fuji bertanya kedua kalinya, pertanyaan yang pertama keburu teralihkan dengan masuknya panggilan telepon dari Kak Fadlan.
“Iya. Kenapa, Mbak?”
“Saya mau bikin rekening baru khusus untuk menabung dana menikah. Bisa bantu saya?” tanya Kak Fuji dengan nada bicara yang seperti dibuat mendayu-dayu.
Rasanya hatiku seperti teremas, apalagi dia duduknya di samping Mas Rido. Namun, aku memilih untuk tarik napas dan buang napas. Aku menggeser tempat duduk jadi lurus di belakang jok Kak Fuji. Tanganku menyiku di jendela mobil, aku memilih menikmati pemandangan yang sedang hujan ini.
“Untuk membuat tabungan Mbak Fuji bisa langsung ke Customer Service. Nanti dia yang akan membantu. Kebetulan besok ada rapat, jadi saya tidak bisa menemani.” Mas Rido menolak dengan bijaksana.
Entah kenapa dadaku sedikit melonggar. Udara yang tadi sempat terasa lebih sedikit, sekarang menjadi lebih banyak. Napasku kembali lega.
“Oh, gitu. Terus kapan Pak Rido bisa nemenin saya?”
“Saya aja yang temenin Kakak. Mas Rido kasihan banyak kerjaan, jangan diganggu.” Akhirnya aku pun membuka suara setelah sekuat tenaga memilih untuk bungkam.
“Kamu ‘kan gak ngerti apa-apa. Udah, mending diem aja. Kakak bisa pergi sendiri.”
Bahasa Kak Fuji semakin membuatku tak nyaman berada dalam mobil. Apalagi ia seperti menyulut emosiku agar kami beradu mulut. Sebaiknya aku diam saja dan menutup telinga.
Sejak ia membuat kegaduhan di acara pertunanganku, kemudian ia tak menganggapku ada saat dalam masa perawatan, aku mulai berpikir untuk mengurus dan memikirkan hidupku saja.
Kami sudah sama-sama dewasa untuk tak saling memahami tentang cinta dan masa depan.
Setiap orang punya jodohnya masing-masing. Namun, kenapa Kak Fuji selalu membuatku harus mengikuti kemauannya dalam hal jodoh? Entah benar selera kami sama atau Kak Fuji yang selalu ingin merebut apa yang hendak ku miliki.
***Nay Lembayung***
Sebelum waktu pulang tiba, suara mobil terdengar memasuki area sekolah. Aku iseng melirik ke arah jendela, mobil yang tak ku kenal rupanya. Mungkin salah satu orang tua murid.
Berdoa pun telah selesai dilaksanakan. Semua murid berbaris dan menyalami para guru satu persatu.
Aku pun hendak ke kantor guru untuk menyimpan beberapa berkas. Baru saja keluar kelas, aku melihat ada Kak Fadlan sedang duduk di teras dekat kantor guru.
“Kak Fadlan?” sapaku.
“Nab, sudah selesai ngajarnya?” tanyanya seraya berdiri.
“Sudah, Kak. Ada yang bisa aku bantu, Kak?”
“Kamu ada waktu? Saya mau ngajak kamu pergi sebentar. Ada hal yang mau saya bicarakan.”
Biasanya Kak Fadlan menghubungiku langsung. Aku belum mempersiapkan hal apa yang akan ku jadikan alasan agar aku tak pergi dengannya, tanpa membuatnya tersinggung.
Tak berselang lama, mobil Mas Rido memasuki pekarangan sekolah. Ia keluar dari mobil setelah mobilnya terparkir sempurna, lalu menyapa para guru yang sedang berdiri di depan kelas.
Dari kejauhan Mas Rido sudah mengukir senyum seraya berjalan mendekat. Aku sangat tertolong.
“Berangkat sekarang?” ucapnya setelah melempar senyum ke arah Mas Fadlan.
Melihat ekspresi Mas Rido, tak ada sedikit pun raut kaget atau ekspresi asing lainnya. Ia bersikap biasa tanpa ada masalah meskipun aku dilihatnya sedang berbicara dengan Kak Fadlan.
“Kalian mau pergi?” tanya Kak Fadlan kemudian.
“Iya. Saya mau pergi bersama Mas Rido. Lain kali aja gapapa, Kak?” tanyaku.
“Oke, Nab. Lain kali saya tunggu, ya.”
Setelah itu Kak Fadlan melempar senyum pada Mas Rido lalu ia berjalan ke arah mobil yang terparkir —yang sempat ku lihat dan tak ku kenali— tadi.
“Tadi kalian bicarain apa?” tanya Mas Rido.
***
Udah vote belum? Komen juga atuuuuhh
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Kecemburuan (ON GOING)
RomantizmNabila dihadapkan pada dua keadaan yang bertolak belakang dalam sudut hatinya. Ia harus melepaskan kebahagiaannya demi orang lain atau bersikap egois demi kebahagiannya sendiri. Pernah ia meluruhkan ego, nyatanya semua itu ternyata hanya sebuah kes...