Chapter 12

33 2 0
                                    

"Nadia boleh mampir dulu gak? Pengen duduk sebentar," pinta Nadia.

"Ini sudah malam, gak enak, Bu Nabila mau istirahat." Pak Rido tidak menyetujui permintaan Nadia.

"Gak 'papa, Pak. Ini baru jam setengah delapan. Mungkin Nadia butuh berhenti sebentar." Aku malah kasihan dengan Nadia, padahal badanku saja rasanya lelah sekali, apalagi Nadia. Perjalanan ke pantai hanya memakan waktu empat jam, tapi aku yang jarang bepergian jauh, sangat merasakan lelahnya.

Nadia pun aku ajak masuk, begitu juga dengan Pak Rido yang mengikuti dari belakang.

Kali ini ada Bapak dan Ibu. Sekalian saja ku kenalkan mereka semua.

Pak Rido yang sepertinya sama lelahnya, ditemani Bapak ngobrol di ruang tamu.

Kalau dilihat-lihat memang Pak Rido lebih dewasa dibandingkan dengan Kak Fadlan. Itu hanya tebakanku saja. Keduanya sudah cukup umur untuk menikah. Eh, apasih aku malah mikir kemana aja.

Sebaiknya aku membersihkan diri, ganti baju juga.

"Nab, Pak Rido ada di bawah?" tanya Kak Fuji semringah.

"Ada, Kak. Lagi ngobrol sama Bapak." Aku malas sekali menanggapinya.

"Ngobrol apa? Ngobrol serius bukan?"

"Enggak. Cuma ngobrol saling mengenal aja kayaknya."

Kak Fuji tak menjawab lagi, ia pun turun ke lantai satu. Aku penasaran, sebelum ke kamar aku pun berjalan menuju tralis lantai dua. Ku perhatikan dari atas, sepertinya Kak Fuji mencari perhatian Pak Rido.

Begitu sampai bawah ia langsung so' akrab. Tak segan, dia juga ikut menimbrung percakapan antara Bapak dan Pak Rido.

Apa Kak Fuji lupa sama Kak Fadlan? Ah, yang benar saja.

Aku malas melihat lebih lanjut, lalu melangkah menuju kamar. Berganti baju sesegera mungkin, kemudian kembali ke bawah untuk menemani Nabila.

Aku ingat ada brownies —yang kemarin aku buat— di dalam kulkas. Nadia pasti akan sangat menyukainya.

Aku segera menuju kulkas begitu sampai di lantai satu. Kemudian membawa beberapa penganan dan menyuguhkannya di ruang tamu.

Nadia girang sekali begitu aku membawa brownies. Anak ini senang sekali yang manis-manis, kesukaannya sama denganku.

"Bu Guru kuenya selalu enak. Nadia suka." Entah potongan ke berapa yang Nadia makan, kemudian bilang begitu.

"Makan yang banyak, nanti sekalian bawa juga kalo ini masih sisa. Buat Nadia di rumah, ya?" Aku sangat menyukai anak ini. Dia anak yang penurut, tak neko-neko dan sangat bisa membuat orang dewasa menyukainya.

"Makasih, Bu Nabila. Saya sama Nadia mau pamit sekarang aja. Sudah malam, Nadia takut kesiangan sekolah besok kalo tidurnya terlalu larut," kata Pak Rido.

"Lain kali Nadia main lagi ke sini, ya!" pinta Ibu.

"Baik, Oma."

"Loh, kok Oma?" Pak Rido yang terusik.

"Bener, nak Rido. Nadia panggil Oma, Ibu kan sudah tua, tapi sayangnya belum punya cucu," jawab Ibu.

"Hati-hati di jalan nak Rido. Nanti main-mainlah ke sini yang sering!" Bapak pun tak kalah menimbrung. Kedua orang tuaku tampaknya merasa nyaman dengan kehadiran dua orang baru ini.

"Hati-hati di jalan Pak Rido!" ucap Kak Fuji. Aku kok malah tak senang, ya. Astaghfirullah.

Aku pun memasukkan sisa brownies ke dalam misting kecil untuk Nadia. Ia kegirangan, hal ini semakin membuatku semangat untuk membuat kue dan cemilan. Ada teman ngemil sepertinya mulai saat ini.

Elegi Kecemburuan (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang