“Kak, gimana sekarang? Aku tahu Kakak kuat.” Aku akhirnya bisa menjenguk Kak Fuji yang masih terbaring lemah di rumah sakit.
“Aku gak mau lihat kamu, Nabila.” Kak Fuji memalingkan wajahnya dariku. Ada gelenyar rasa perih di dalam sini.
Tanganku bergerak perlahan hendak meraih tangan Kak Fuji yang tak ada infusan di sana. Namun, dia menarik tangannya pelan, seolah tak mau ku sentuh.
“Maafin Nabil, Kak.” Tak kuat jika harus perang dingin seperti ini. Akhirnya aku meminta maaf lebih dulu. Walau aku tahu apa yang terjadi pada Kak Fuji bukan salahku.
“Aku gak punya adik seperti kamu. Silakan keluar kalo kamu masih menghargai aku!” usir Kak Fuji.
Akhirnya aku berdiri dan air mata ini meleleh dengan sendirinya. Saat aku keluar kamar, seseorang menarikku. Aku mendongak, ternyata Mas Rido. Padahal aku berangkat sendiri dan tak memberitahu siapa pun.
“Jangan nangis, Nab! Terlalu berharga rasanya air mata ini dipakai untuk menangisi hal yang bukan salahmu.” Mas Rido menatapku dengan mata yang juga berkaca.
“Mas lihat dan dengar semuanya. Maafin, Mas, ya!” ucap Mas Rido.
Aku pun memilih untuk duduk sebentar di kursi yang ada di koridor rumah sakit. Sengaja menumpahkan sesak yang tertahan ini. Dada terasa perih dan tenggorokan seolah menyempit.
Aku tak pernah mau bertikai dengan Kak Fuji walaupun sejak kecil aku terbiasa mengalah untuknya. Namun, melihat sikapnya hari ini, aku rasa semuanya salah dan ternyata sikapku selama ini malah semakin menumbuhkan sifat tak baik dalam diri Kakakku.
Mas Rido duduk di sampingku tanpa berkata apa-apa. Ia menemaniku dengan setia agar hatiku menjadi lebih lapang. Hingga akhirnya aku menunduk dengan sapu tangan yang tadi diulurkan oleh laki-laki di sampingku ini. Sapu tangan warna abu muda dan abu tua dengan wangi parfum yang sering ku cium kalau Mas Rido berjarak cukup dekat denganku.
Entah berapa menit aku meluapkan apa yang perih dalam dada. Racun itu sudah ikut luruh bersama air mata. Sekarang aku merasa lebih lapang, meski mungkin wajahku kini merah-merah.
“Udah makan?” tanya Mas Rido saat tangisku reda.
Tanpa menoleh aku menjawab, “belum, Mas.”
“Makan, yuk!” ajaknya.
Aku mengangguk. Sepersekian detik aku mendahuluinya bangkit. Lalu kami pun berjalan menuju ke tempat parkir.
***Nay Lembayung***
Awalnya aku hendak makan di sebuah resto dekat rumah. Tak sengaja aku melihat jam tangan —yang menunjukkan— waktu maghrib hampir tiba. Daripada mengeluarkan uang untuk makan di luar, sebaiknya aku mengajak Mas Rido untuk makan di rumah bersama Bapak dan Ibu.
Tanpa bantahan, justru senyuman terbit saat tak sengaja kami bertemu tatap, pria ini bersedia makan di rumah.
Saat kami tiba di rumah, Bapak selalu menyambut Mas Rido dengan hangat. Seolah ia kedatangan teman karibnya saja. Mereka mengobrol begitu akrab seolah tak ada sekat usia.
Waktu maghrib tiba dan Mas Rido membarengi Bapak menuju ke masjid kampung untuk berjamaah di sana. Sedangkan aku dan Ibu di rumah saja.
Begitu selesai dengan segala macam ibadah maghrib aku kembali turun —setelah berganti baju— untuk memasak hidangan makan malam. Biasanya aku memasak tak lama hingga waktu isya.
Kalau saja aku tak menjenguk Kak Fuji, mungkin aku sudah menyelesaikan masakanku sebelum maghrib tadi.
“Nab, gimana tadi Fuji?” tanya Bapak di tengah acara makan malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Kecemburuan (ON GOING)
RomanceNabila dihadapkan pada dua keadaan yang bertolak belakang dalam sudut hatinya. Ia harus melepaskan kebahagiaannya demi orang lain atau bersikap egois demi kebahagiannya sendiri. Pernah ia meluruhkan ego, nyatanya semua itu ternyata hanya sebuah kes...