Chapter 2

69 4 0
                                    

"Niat kami ke sini, hendak melamar Nabila sebagai calon istrinya Fadlan," ucap Pak Hadi dengan hangat.

Brakk!

Tiba-tiba suara benda pecah terdengar dari lantai 2, kurasa dekat dengan tangga. Aku yang sedang berada di dapur —menyiapkan penganan— terkejut luar biasa. 

Pertama, karena ucapan Pak Hadi yang tak pernah kuduga sebelumnya. Dan kedua, suara yang berasal dari lantai dua. 

"Naab … tolong lihat apa itu yang jatuh!" pinta Bapak setengah berteriak. Aku segera melangkah.

Jantungku sudah berdebar tak karuan sejak kuputuskan melangkah ke lantai dua, menyambangi sumber dari suara benda pecah itu. Tanganku sedikit bergetar karena pengaruh dari rasa hati yang semakin tak enak. 

Aku melihat vas bunga yang sengaja kuletakkan di lemari tv sudah berserakan kacanya. Ini tak mungkin kalau jatuh tiba-tiba. Dan bersusulan itu aku mendengar bunyi pintu kamar Kak Fuji yang dikunci. 

Dugaanku, ini dilakukan oleh Kak Fuji setelah mendengar kalimat Pak Hadi beberapa saat yang lalu. 

Yaa Allah …. 

Kupastikan bahwa Kak Fuji sangat teriris hatinya karena rentetan kata yang keluar dari lisan Pak Hadi. Aku semakin tak karuan. Segera kuketuk pintu kamar Kak Fuji. Namun, tak ada respon sama sekali.

Padahal tadi begitu Kak Fuji sampai rumah, ia terlihat begitu semringah. 

"Nab, Fadlan mau ke sini sama orang tuanya," ucap Kak Fuji.

"Oh ya? Mau ngelamar Kakak nih pasti," ucapku seraya menggodanya. 

"Semoga, ya! Doain!" Berseri-seri sekali wajah Kak Fuji. Aku pun ikut merasakan atmosfer sukacitanya itu. 

Lantas Kak Fuji segera bersiap untuk menyambut kedatangan keluarga Kak Fadlan. Beda sekali denganku yang lebih tampil apa adanya bahkan tanpa makeup, hanya loose powder tipis saja.

Aku tahu seluluh-lantah apa hatinya Kak Fuji. Tak terasa netraku mulai memanas. Ingin rasanya kupeluk Kakakku itu untuk memberinya semangat. 

"Nab, apa barusan yang pe—" belum selesai kalimat Ibu, beliau melihat bagian-bagian vas bunga yang berserakan lantas membekap mulutnya. Itu vas bunga kesayangan Ibu, benda turun temurun dari almarhumah Nenek.

Ibu setengah berlari mendekati pecahan vas bunga itu. Aku melihat Ibu duduk bertumpu pada lututnya. Vas bunga yang selalu menjadi kesayangannya karena ada kenangan Nenek di sana. Meskipun modelnya terkesan jadul, tapi Ibu sangat memperhatikan vas bunga itu.

Ibu menundukkan kepalanya dalam dan mengambil salah satu pecahannya. 

"Kenapa ini bisa pecah, Nab?" tanya Ibu tanpa menoleh padaku. 

Melihat hati Ibu yang teriris itu, aku semakin tak sampai hati untuk memberi tahu dugaanku kalau vas bunga itu Kak Fuji yang lemparkan. Karena aku tak yakin vas bunga itu jatuh. 

Suara pada saat vas bunga itu pecah terasa berbeda, seperti ada dorongan karena bunyinya yang nyaring sekali. 

"Gak tahu, Bu. Nabil ke atas dan vas itu sudah pecah," ucapku tanpa memberitahu dugaanku karena takut malah jadi fitnah.

"Beresin, Nab, Ibu ke bawah dulu!" perintah Ibu, beliau bangkit dengan lemas dan kepalanya masih menunduk. Ibu berjalan sedikit gontai dan kembali ke lantai satu. 

"Oh iya, kamu segera ke bawah, dipanggil Bapak!" perintahnya lagi.

Aku menuruti apa yang Ibu perintahkan. Segera kuambil sapu dan pengki kecil untuk membereskan pecahan vas bunga itu. Hatiku ikut perih melihat vas bunga milik almarhumah Nenek sudah tak lagi berbentuk.

Elegi Kecemburuan (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang