Chapter 14

27 3 0
                                    

“Bu Nabila, saya berniat menjalin hubungan keluarga dengan Bu Nabila. Bagaimana tanggapannya, Bu?” kata Pak Rido. Di sela-sela waktu menjemput Nadia beliau tiba-tiba meminta waktuku untuk berbicara.

Awalnya ku pikir tentang Nadia, ternyata ini tentang hal yang bahkan aku tak pernah menduganya sedikit pun. Dan di sinilah kami sekarang di teras depan kantor guru di sekolah tempatku mengajar. Kami duduk sejajar dengan spasi kurang lebih satu meter. Aroma parfum Om-nya Nadia ini masih menghampiri indera penciumanku. Wangi parfum yang cukup enak untuk dihirup.

Nadia masih anteng bermain, ia sempat diminta Om-nya ini untuk bermain sebentar di dalam kelas. Tanpa bantahan Nadia mengangguk dan tersenyum.

“Maksudnya Pak Rido ini bagaimana, ya?” Aku sudah bisa menejemahkannya, sayangnya aku hanya takut keliru, jadi aku memilih untuk membuat Pak Rido menjelaskannya lebih detail.

“Saya berniat untuk melamar Bu Guru menjadi istri saya.” Dengan tegas Pak Rido mengatakannya. Aku sempat refleks menoleh padanya yang dia juga sedang menatapku. Sepersekian detik aku memilih menunduk dan Pak Rido membuang arah pandangan ke sebelah kiri.

Mendengar kalimat Pak Rido tersebut, tiba-tiba pipiku menghangat. Ada rasa yang menjalar yang pernah ku rasakan saat beberapa kali Pak Rido mengajakku berbincang saat Nadia tengah tidur di perjalanan menuju pantai.

Dadaku sedikit berdebar, jari tangan mulai terasa dingin dan ada sedikit keringat di sana. Napas yang sejak tadi biasa saja, kini mulai terasa agak berat, sepertinya efek debaran yang mulai menaikkan ritmenya. Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, agar Pak Rido tak tahu kalau kalimatnya membuat hati dan pikiranku kelabakan.

“Bu Nabil? Anda baik-baik saja?” tanya Pak Rido lagi.

“I-iya, Pak. Saya baik-baik saja.”

“Pikirkan saja dulu kalimat saya barusan! Jangan dijadikan beban. Apapun keputusan Bu Nabil, saya akan sangat menghargainya.”

Aku menoleh sekilas ke arahnya, kemudian kembali menunduk. Demi apapun, ini hal yang membuat atmosfer canggung menebal di antara kami.

“Satu hal lagi, kita tidak akan berpacaran. Saya akan datang langsung kepada orang tua Bu Nabila untuk melamar.” Pak Rido menambahkan. Dan … denyutan jantungku pun ikut menambah ritmenya lagi.

“Saya akan renungkan hal ini, Pak. Saya akan memberikan keputusannya tiga hari kemudian, insyaa Allah.” Aku menjawab setelah beberapa kali menarik napas dan mengembuskannya. Kalau tidak begitu bisa-bisa nada suaraku bergetar dan Pak Rido tahu aku sedang berusaha mengontrol debaran.

“Terima kasih banyak, Bu. Kalau begitu saya pamit.”

Kami bangkit dan Pak Rido sempat mengangguk sopan sebelum ia melangkah menuju kelas untuk memanggil Nabila.

“Bu Guru, udah ngobrolnya sama Om Rido?” tanya gadis kecil manis yang tengah meraih jemariku.

Aku berjongkok, “udah. Nadia hati-hati, ya, pulangnya!”

“Nadia senang kalau Bu Nabila bisa menjadi Tante-nya Nadia.”

Aku terkesiap mendengar kalimat Nadia. Apa mungkin Pak Rido memberitahu Nadia perihal keinginannya itu?

Bingung aku menanggapinya harus seperti apa selain tersenyum. Ku lirik ke arah guru-guru yang lain, wajah mereka menyiratkan penuh tanya.

“Ayo, Om ada rapat, Nad! Pamit dulu sama Bu Guru!”

Untungnya Pak Rido mengajak bergegas kepada Nadia. Itu berhasil menyelamatkanku.

Nadia mencium tanganku dan ia berjalan sambil dituntun oleh Om-nya itu. Aku melihat mereka dari ambang pintu kelas sampai mobil berwarna putih itu melaju meninggalkan sekolah.

“Bu Nab!” seru Bu Rasmi.

“Kenapa, Bu?” tanyaku seraya berjalan ke arahnya.

Saat sudah dekat aku melihat Bu Rasmi dan Bu Tati sedang melayangkan tatapan penuh godaan. Terpancing tentu saja, aku pun malah ikut senyum-senyum.

“Kayaknya Om Nadia itu baik dan dewasa, ya, Bu?” ucap Bu Tati memulai lebih dulu.

“Betul. Dia terlihat bisa mengayomi dengan baik.” Bu Rasmi menambahkan.

“Ini kita bicara apa atuh, Bu?” Aku menanggapi berpura-pura tak mengerti alur pembicaraan mereka.

“Jangan pura-pura gak ngerti, Bu Nabil, Nadia tadi cerita banyak.”

Aku terhenyak. “Cerita apa?” tanyaku tentu saja dengan segudang penasaran.

“Om-nya mau kalau Bu Nabila jadi Tante Nadia juga bukan sekedar Guru TK-nya.” Bu Tati menjawab dengan lugas.

Pipiku terasa menghangat lagi. Pasti sudah ada semburat merah di pipi ini.

“Iya. Pak Rido barusan mengajukan diri untuk melamar saya sebagai istrinya, Bu.” Setelah kupikir, mereka dua orang wanita dewasa yang sudah seperti keluarga bagiku. Umur kami terpaut cukup jauh. Mungkin mereka bisa memberiku beberapa masukan.

Setelah itu mereka senyum-senyum seraya menutup mulutnya dengan tangan. Aku semakin merasakan pipi semakin menghangat.

“Kalau pendapat saya, Bu Nabil, Pak Rido itu laki-laki yang baik. Dia sopan dan penyayang. Rela menjemput keponakannya setiap hari, apalagi nanti sama anaknya, ya?” Bu Rasmi lebih dulu berpendapat.

“Setuju saya sama Bu Rasmi,” ujar Bu Tati. “Kita sebagai Ibu-ibu berpengalaman, kurang lebih bisa membedakan mana laki-laki baik dan mana laki-laki yang tidak baik berdasarkan pengalaman dan pengamatan.” Bu Tati berujar dengan penuh keyakinan.

“Ganteng juga, kan, ya?” Bu Tati menggodaku lagi, tatapannya mengarah padaku.

“Jangan terlalu menutup diri, Bu Nabil! Laki-laki baik zaman sekarang susah dicari. Kalau bisa, pertimbangkan baik-baik. Apalagi tanggung jawab Pak Rido kepada ponakannya gak diragukan lagi.” Bu Rasmi memberi nasihat.

“Iya, Bu. Saya juga mau mendiskusikannya dengan Bapak dan Ibu. Saya selalu percaya dengan feeling mereka. Lagi pula saya juga belum terlalu kenal sama Pak Rido.”

“Betul. Bicarakan sama Bapak sama Ibu, Bu Nabil. Gak ada orang tua yang akan menjerumuskan.” Bu Tati menanggapi.

Perbincangan tak berlangsung lama, kami memutuskan untuk pulang. Kelas sudah rapi. Waktunya untuk beristirahat di rumah.

Seperti biasa aku berjalan kaki dari sekolah, ditemani payung berwarna pink kesayangan. Terik matahari terasa sangat menyengat menjelang tengah hari.

Tiba-tiba aku teringat Kak Fadlan. Dia sedang berjuang untuk mendapatkan restu. Semuanya jadi terasa sulit karena Kak Fuji terlibat di dalamnya. Padahal awalnya Bapak sangat merestui niat baik Kak Fadlan.

Aku juga salah karena membuka yang sebenarnya perihal perasaan Kak Fuji kepada Bapak dan Ibu. Andai aku bisa menyembunyikannya, saat tahu Kak Fuji menolak Kak Fadlan, itu bukan lagi jadi hambatan. Sayangnya Kak Fuji malah seperti mempermainkan ini semua. Seolah dia ada perasaan yang sama kepada Kak Fadlan dan berniat menguji saja. Bapak juga percaya itu.

Aku malah semakin bimbang.

Biar nanti aku bicarakan kepada kedua orang tuaku saja. Mereka tentu lebih bijaksana dalam menanggapi semuanya. Aku hanya tak ingin gegabah mengambil keputusan. Apalagi pernikahan adalah ibadah paling lama dan aku hanya mau satu kali seumur hidup.

Aku mengakui kalau Pak Rido memang sudah dewasa. Ia juga bukan orang biasa. Pekerjaannya sangat menuntut tanggung jawab yang besar. Bayangan wajah Nadia tadi saat bertanya tentang hal ini juga melintas di benak.

**

Jangan lupa vote, komen dan follow yaaaaaa🩷

Elegi Kecemburuan (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang