“Kak, bertahan!” teriakku sebelum aku dilarang untuk mendampingi Kak Fuji yang akan diurus oleh dokter.
Aku, Bapak dan Mas Rido sedang berada di IGD sebuah rumah sakit. Kak Fuji dalam penanganan dokter.
Saat tengah agenda halal bi halal di acara pertunanganku yang telah selesai, Ibu mendapati Kak Fuji berda rah di area pergelangan tangannya. Sontak Ibu berteriak dari lantai dua.
Tamu-tamu pada penasaran, sedangkan Bapak segera menghampiri Ibu. Selang beberapa detik, Bapak menggendong Kak Fuji turun dan Mas Rido pun ikut berlari keluar untuk menyiapkan mobil yang akan membawa Kak Fuji ke rumah sakit.
Aku pun ikut dengan Mas Rido dan Bapak. Sedangkan Ibu memilih untuk terus menjamu para tamu dan mengondusifkan suasana di rumah.
Semenjak perjalanan tadi aku terus terisak. Tak pernah terpikirkan kalau Kak Fuji akan berbuat senekat ini.
“Sabar, Nab! Fuji akan baik-baik saja,” hibur Mas Rido di sampingku.
Aku masih mengenakan kebaya dan Mas Rido juga Bapak masih mengenakan kemeja batik. Motif batik milik Mas Rido yang sama persis dengan motif rok batik yang kini aku pakai.
“Aku gak ngerti kenapa Kak Fuji tega melakukan itu, Mas,” ucapku tergugu. Mas Rido meraih jemariku, menggenggamnya dan mengusap punggung tangan dengan tangan satunya.
“Sebaiknya kamu banyak berdoa, biar Fuji kuat.”
“Nab!” Bapak menghampiri. “Ini diminum!” Bapak juga menyerahkan satu botol kecil untuk Mas Rido.
“Kamu jangan pikirkan Fuji! Ini biar Bapak yang urus. Maafkan Bapak, nak Rido. Seharusnya insiden ini gak terjadi di acara pertunangan kalian.” Bapak menundukkan kepalanya.
“Musibah gak ada yang tahu, Pak. Jangan menyalahkan diri sendiri. Semua sudah ada garis takdirnya,” jawab Mas Rido.
Kami pun menunggu dokter selesai dengan tindakannya. Semuanya terasa menakutkan. Apalagi di IGD ini banyak pasien yang darurat bergantian masuk. Kasusnya macam-macam.
Memikirkan Kak Fuji saja membuat tubuhku seolah tak memiliki tulang.
“Nab, kita nunggu di luar aja!” pinta Mas Rido, memecah keheningan.
“Betul kata nak Rido, kamu tunggu di luar aja. Nanti Bapak kabarin.” Bapak melihatku dengan raut penuh kekhawatiran.
Aku mengangguk tanpa sempat menjawab. Ditemani Mas Rido kami berjalan beriringan melewati area parkir rumah sakit.
Langkah kakiku tak tentu arah. Aku hanya mengikuti langkah Mas Rido. Ia terus berjalan dan aku pun enggan untuk bertanya akan kemana.
Sampai kami tiba di sebuah cafe yang letaknya di seberang rumah sakit.
“Kamu makan dulu! Jangan sampe kamu sakit.”
Aku menoleh ke arah Mas Rido. Pikiranku sedari tadi berkelana entah kemana. Bayangan Kak Fuji kenapa-napa terus menggelayuti benak ini.
“Ada yang mau Nabil ceritain?” tanya Mas Rido.
Sepersekian detik kami bertemu tatap. Tanpa berkedip, air mata tiba-tiba berderai membasahi pipi.
Mas Rido mengulurkan tangannya dengan sapu tangan terpegang. Sapu tangan berwarna biru navy dengan motif abu muda. Aku meraih itu, lalu menyeka air mata yang malah sulit ku tahan.
“Nangis aja dulu, setelahnya kamu bisa cerita!” ucap Mas Rido. Ia pun fokus dengan buku menu.
Benar saja, mengeluarkan racun ini rupanya membuatku semakin plong. Kini dada terasa lebih lapang. Pikiran pun tak terlalu membuat kepala sakit.
“Aku bersalah sama Kak Fuji.” Di sela-sela menunggu makanan terhidang, aku ingin menceritakan beberapa hal kepada pria yang telah ‘mengikatku’ ini.
“Cerita aja! Masalah Nabil, jadi masalah Mas juga. Mas hanya gak mau Nabil sedih. Itu aja.” Tatapannya begitu teduh.
Satu persatu kalimat aku susun serapi mungkin agar tak menyinggung atau pun membuat Mas Rido merasa bersalah dengan kejadian ini. Ingin aku tutupi sebagian, tapi sepertinya masalah ini harus diketahui Mas Rido juga agar tak ada salah paham di kemudian hari.
“Kamu mau ngabulin permintaan Kakakmu itu?” tanya Mas Rido. Kami sudah berada di inti bahasan, yaitu Kak Fuji meminta aku merelakan Mas Rido untuknya.
“Jujur aku sayang banget sama Kak Fuji. Tapi, untuk kali ini aku gak bisa ngelakuin hal yang sama seperti yang aku lakukan ke Kak Fadlan. Hatiku sudah milih Mas Rido.” Entah ada angin apa, aku mengeluarkan kesungguhan hati.
Mas Rido tersenyum, ia menatapku begitu lekat, sehingga aku memilih untuk memalingkan pandangan ke arah lain.
“Terima kasih.”
Aku menatap tak mengerti.
“Nabil sudah menyikapinya dengan dewasa.”
Mas Rido masih tersenyum.
“Nabil tahu apa yang akan terjadi kalau saja waktu itu kamu memutuskan solusinya secara sepihak?”
Aku menggeleng.
“Kemungkinannya adalah dua hati yang akan tersakiti sekaligus. Karena memaksakan perasaan seseorang kepada yang bukan diinginkannya hanya akan membuat sayatan baru. Mas gak akan bisa mencintai Fuji dan Fuji takkan bisa bahagia karena tak akan pernah ada cinta.”
Aku terpukau dengan pemikiran Mas Rido yang begitu jauh. Sedikit pun aku bahkan tak pernah memikirkan hal itu. Aku selalu fokus dengan Kak Fuji.
Gusti … mungkinkah itu yang dirasakan Kak Fadlan dari waktu itu sampai saat ini?
“Kok diem?”
Sambil memainkan dua jari telunjuk di atas meja, “aku ngerti sekarang gimana perasaan Kak Fadlan.”
Mas Rido tak langsung menjawab, ia masih membisu. Mungkin menunggu kalimatku berikutnya.
“Aku gak mau ngulang kesalahan yang kedua kalinya.”
“Syukurlah. Mas cuma mau kamu, bukan yang lain.”
Aku mengukir senyum akhirnya. Tak berselang lama, Bapak menyusul kami.
“Bapak tahu kami di sini?” tanyaku setelah Bapak duduk.
“Tadi nak Rido yang ngasih tahu. Mau nunggu di cafe seberang gerbang rumah sakit.”
Aku mengangguk, meski sebenarnya penasaran, Mas Rido seperti sudah hafal betul daerah sini. Ah, nanti saja ditanyakan.
“Nak Rido, sebenarnya Bapak mau menyampaikan sesuatu. Bapak gak enak ini mau bicaranya. Tapi, ini demi kebahagiaan dua putri Bapak juga.
“Silakan, Pak. Gak usah sungkan!” Mas Rido menanggapi.
“Nak Rido, kalau berkenan, Bapak minta untuk menikahi Fuji secepatnya!” cetus Bapak.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Kecemburuan (ON GOING)
RomanceNabila dihadapkan pada dua keadaan yang bertolak belakang dalam sudut hatinya. Ia harus melepaskan kebahagiaannya demi orang lain atau bersikap egois demi kebahagiannya sendiri. Pernah ia meluruhkan ego, nyatanya semua itu ternyata hanya sebuah kes...