Chapter 4

49 6 0
                                    

"Bu Guru, sedang di sini?" sapa Pak Rido; Om-nya Nadia.

Aku kebetulan sedang berada di Customer Service (CS) untuk mengadukan perihal uangku yang tiba-tiba lenyap begitu saja. Padahal aku tak merasa mengambil uang tersebut.

Sambil menunggu CS menginput beberapa data, tak sengaja aku menoleh ke arah Teller, dan Pak Rido baru saja keluar dari sana.

"Iya, Pak," jawabku singkat, segan rasanya.

"Buka rekening baru?" tanya Pak Rido setelah mendapati jarak lebih dekat denganku.

"Bukan, Pak. Laporin sesuatu saja, Pak."

Kulihat Pak Rido menganggukkan kepalanya. "Saya permisi ke dalam, Bu. Kalo butuh apa-apa, bisa hubungi saya!" ucap Pak Rido dengan ramah.

"Terima kasih, Pak." Kutanggapi kalimatnya seraya mengangguk kecil sebelum ia pun menjauh dariku dan masuk ke sebuah pintu.

Sudah beberapa menit berlalu dan CS pun memberitahu agar saya kembali setelah tiga hari, karena laporan perlu diproses dan itu adalah jangka waktu aman untuk tahap selanjutnya.

"Bu, diminta Pak Rido untuk menghadap ke ruangannya. Beliau yang akan menangani langsung permasalahan Ibu," ucap CS dengan senyuman yang mengembang setelah ia menutup telepon yang berada di mejanya.

"Dimana ruangannya, Bu?" tanyaku pada CS ini.

"Ibu masuk lewat pintu itu," seraya menunjuk pintu warna hitam di ujung ruangan ini. "Nanti ada ruangan berjajar sebelah kanan, ruangan Pak Rido pintu kedua dari sini," ucap CS.

Aku undur diri dan mulai melangkah untuk menuju ke ruangan Pak Rido.

Kuketuk pintu yang terbuat dari kaca dengan bingkai alumunium ini dengan perasaan sedikit ragu. Sepersekian detik perintah "masuk" terdengar di udara.

Pak Rido sedang duduk di kursi yang kutaksir jutaan rupiah harganya, laptop di meja, juga beberapa arsip di lemari belakang.

"Silakan duduk!" pintanya dengan ramah.

Aku mengangguk pelan dan mengambil langkah untuk segera duduk di kursi yang berhadapan langsung dengannya.

Setelah nyaman dengan posisi duduk, mataku membelalak membaca akrilik di atas meja bertuliskan "Kepala Cabang". Semakin segan saja aku dibuatnya.

"Bu Guru boleh beri tahu saya tentang keluhannya," ucap Pak Rido membuka jalur pembicaraan.

"Saya kehilangan uang di rekening saya. Ada keterangan withdrawal di buku tabungan. Padahal seingat saya, saya tidak pernah mengambil uang tersebut," jawabku dengan segan, sehingga kalimatnya berusaha kusingkat.

"Boleh saya lihat, bukunya?"

"Ini, Pak," kusodorkan buku tabungan setelah kurogoh dari tas.

Beliau meneliti buku tabungan dengan saksama. Alisnya hampir bertautan demi melihat isi dari buku tabungan yang ada di tangannya.

"Saya bantu cari tahu, ya, Bu. Apa Bu Guru bersedia menunggu?" tanyanya setelah buku tabungan ia tutup, tapi masih dalam tangannya.

"Baik, Pak."

Beliau terlihat membuka laptop dan jarinya bermain di atas papan ketiknya. Mungkin beliau sedang membuat data atau laporan.

"Saya pinjam buku tabungannya untuk proses laporan. Nanti saya kabari secepatnya, sekalian saya jemput Nadia," kabarnya. Sedikitnya aku merasa lega karena beliau mau turun tangan menangani permasalahanku.

Ia kembali membuka buku tabungan, tepatnya halaman awal.

"Bu Nabila Sofi," ucapnya menyebut namaku.

Elegi Kecemburuan (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang