1. Serampangan

144 25 10
                                    

Happy Reading

*Jangan lupa follow dan pencet tombol love, terima kasih*

Tepat di party ulang tahun ke sembilan belas Zifara. Sahabatku yang satu itu memang rada bawel dan dikenal posesif.

Masa iya, hanya gara-gara Hito pacarnya terlambat datang ke acara langsung mendarat tamparan perih-perih manja itu dipipi sang pacar.

"Udahlah Zifa, kasihan tau... cowo lo baru nyampek diomelin mulu,"

"Kasihan sama cowo gue? Wah, parah.. jangan-jangan, lo naksir sama Hito,"

"Maksud lo, kalau gue kasihan ke pengemis jalanan... terus disangkain naksir juga, gitu?"

Zifara melirik kesal tepat di wajah Hito. Padahal, aku tidak berniat sedikitpun mencampuri urusan mereka. Lumayan tidak tahan saja, menyaksikan cowo sekeren Hito ditampar di depan umum... sudah begitu diomelin panjang kali lebar. Kalau kalian jadi aku, pasti juga sama... tidak akan tega.

"Bener kata teman kamu ini beb. Lagipula aku telat gara-gara, waktu di tengah jalan gak sengaja ngelindas sesuatu... terus ban motor pecah. Bukan karna yang lainnya. Suwer!"

Idih, ini cowonya juga ngga gentle men banget ngomong pakai suwer segala. Terlihat takut diamuk Zifara. Raut mukanya persis asisten rumah tangga yang ketakutan di PHK sama bos. Padahal kalau aku jadi dia, bisa saja balik mengancam bakal ninggalin party yang gaje alias tidak jelas ini.

Tapi, mau bagaimana lagi? Zifara ini sahabat setiaku sejak zaman SMP. Selain dia, aslinya aku masih punya banyak teman, tapi yang mau berbagi kesusahan, ya hanya Zifara saja.

Kesusahan yang aku maksud disini bukan soal finansial. Karena kami sama-sama putri titisan konglomerat yang dibanjiri fasilitas memadai. Bedanya aku dengan Zifara, orangtuaku lebih tegas dan ngga pernah memanjakan anak-anaknya. Kita sudah dibiasakan mandiri sejak kecil, maksudnya... aku dan saudara-saudaraku.

"Makasih, ya. Tadi kamu sudah belain saya... waktu dipermalukan sama Zifara di depan umum,"

What? Dipermalukan, kata si Hito ini. Tadi di depan sahabatku dia ngomongnya pakai 'beb' segala. Sekarang, kita berpapasan di depan toilet yang masih di area gedung tempat party, eh... dia malah ngatain Zifara. Apa semua cowo kalau bicara ke para cewe bisa beda-beda versi, gitu?

"Makanya, Mas jadi laki-laki itu berwibawa sedikit, dong. Jangan mau digampar depan umum seperti tadi,"

"Iya, aku cuma takut Zifa tambah marah dan jadi ruwet urusannya. Biasa juga dia emang begitu, tapi ntar baikan lagi. Jadi, aman." senyum Hito padaku.

"Hmm, kalau sudah aman saya tinggal dulu, ya, Mas." Lebih baik aku pamit.

"Eh, saya belum tau nama kamu, siapa?"

Duh.. baru melangkah menjauhi perbatasan pintu toilet pria dan wanita, lenganku malah ditarik lagi sama pacar Zifara. Tunggu dulu! Kenapa jadi keringat dingin begini? 'Tenang, Tari. Cewe cantik harus selalu semringah dan gak boleh terlihat panik!' Gumamku dalam hati.

"Sudah berapa lama, sih, Masnya pacaran sama Zifa? nama sahabat dekat pacarnya saja bisa gak tau. Padahal ini bukan kali pertama kita jumpa loh, ya,"

Terpaksa nadaku meninggi. Dibilang kesal, ya jelas kesal tingkat dewa. Apalagi sejak keberadaanku baru disadari sama si Hito itu. Biasanya, aku hanya jadi anti nyamuk sejati ditengah-tengah taman tempat mereka sering berpacaran.

"Oh, kamu yang namanya Tarisa," ujar si Hito nyebelin itu.

"Nah, itu tau," imbuhku.

"Cantik," gumamnya hampir tak terdengar.

"Apa, Mas?"

"Sayangnya, gak ada reka ulang. Nanti kamu ge er." Kata si Hito sambil tersenyum mengejek.


Seketika rasanya pengen terbang dapat pujian dari Hito. Jarang-jarang aku dipuji sama lawan jenis, sekali dapat pujian malah dari pacar sahabat sendiri. Pahit banget rasanya, baru diangkat sudah langsung dijatuhkan.

"Kalau sudah selesai, boleh lepasin tangan saya Mas!"


"Oh, ya, sorry." Ucapnya setengah tersenyum manis sekali. Pemain sinetron di televisi juga kalah tampan sama pacar Zifara. Sebenarnya, mereka baru dua tahun berpacaran, sejak kelas dua belas menengah atas sampai kini aku dan Zifa sudah kuliah.

Yang aku tahu, Hito itu usianya lima tahun diatas kami. Ia seorang maneger baru di sebuah perusahaan. Sedangkan kami, hanya anak kuliah yang masih labil. Aku juga bingung, kenapa cowo bertalenta seperti Hito bisa naksir sama Zifara. Sudah takdir mereka mungkin, ya.

Atau benar kata pepatah dulu, kalau sudah cinta taik kucing serasa coklat. Hhh.. Kenapa juga aku harus memikirkan soal mereka. Pacar juga belum pernah punya, belum pernah sama sekali merasakan pacaran.

Padahal aku dibanding Zifara tidak kalah cantik. Entah kenapa, semua laki-laki lebih memilih nembak dia dari zaman SMA, sehingga nyaliku ciut untuk mencoba berpacaran.

Kalau hanya diitembak cowo aku pernah, tapi bingung mau jawab apa dan akhirnya aku gantungin saja satu persatu. Zifara pernah mencoba mengingatkanku dan bilang, "Awas lo kena karma!"

Akhirnya, sejak saat itu aku suka lari tiap kali dikejar kaum Adam. Sampai-sampai di sekolah dijulukin 'Tarisa si putri malu' ngga banget 'kan, ya. Mereka belum tahu saja, bahwa sebenarnya aku sudah dijodohkan orang tua sama anak salah seorang temannya, yang aku sendiri tidak begitu kenal.

"Lo mau jadi siti nurbaya, Tar? Ini era millenial loh. Mana emansipasi lo sebagai kaum Hawa,"

"Duh.. terserah bokap gue deh, Zif. Kasihan juga kalau ditentang. Nggak tega, gue."

Zifara hanya bisa menertawakanku. Meskipun begitu, ia tetap menjadi yang terdepan dalam mendukungku.


Contohnya, waktu papa menentang aku yang mengambil jurusan farmasi di kampus, Zifara bela-belain datang kerumah membujuk papa. Sampai akhirnya papa ngajak dia taruhan main catur. Padahal ayah ku itu adalah pemain catur yang handal dan belum ada orang sekampung atau sekomplek yang bisa mengalahkannya. Kali itu, justru kemenangan mendadak berpihak pada sahabatku dan dialah Zifara. Mungkin sudah rezeki, aku jadi mahasiswi farmasi.

"Pulang, yuk." Ajak Hito saat kami kembali berjumpa di loby.

"Maksud Masnya apa, ya?" Aku bingung saat dia menepikan kendaraan dan turun menghampiriku.

"Pulang, saya antar sampai ke rumah." Dengan pedenya dia menawarkan diri.

"Memangnya, situ tau alamat rumah saya?" Aku setengah tertawa merasa lucu.

"Tinggal kasih tahu saja, bisa saya antarkan. Kenapa jadi repot? Ini juga saya nawari tumpangan, ya karena kamu bestienya Zifa," Mukanya yang sok kuul dan emang keren itu, bikin aku gemas dan pengen langsung naik ke motornya.

Karena teringat pesan papa, aku tidak boleh jadi perempuan murahan. Mau tidak mau aku harus menolak.

"Begini, Masnya... party aja belum selesai, kenapa seorang pacar mau kabur? Nggak betah, nunggu acara sampai selesai?" Sanggahku.

Akhirnya, si Hito itu memutar bola mata sambil menghela napas malas dan berlalu menaiki kembali motornya tanpaku. Entah mau kemana dia pergi. Yang jelas bukan kembali ke area parkiran.

Bersambung

💬 Selain judul yang ini, ada juga judul lain yang nggak kalah seru loh. Cobain deh, baca yang Jodoh Singgah.

RuntuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang