33. Menyerah

3 1 0
                                    

POV Tarisa

"Kamu sekarang udah berani bantah Papa, Tar. Kalau kamu masih mau sama Hito, jangan injakkan kaki lagi ke rumah ini!" 

"Pa, Tarisa lagi hamil. Kita nggak bisa menekan dia. Papa harusnya pikir nasib cucu kita. Setelah kehilangan Talita, apa kita harus kehilangan yang lain juga?" Mama rela mendebat papa demi membelaku. 

"Biar dia ngerasain gimana hidup ditelantarkan!"

"Tapi ini anak kita, Pa. Ikhlaskan kepergian Talita. Mama yang melahirkan Talita bisa ikhlas, Pa."

"Ini bukan persoalan Talita lagi, ya, Ma. Papa nggak suka pria mata keranjang kayak Hito jadi menantu lagi!"

"Pa, Ma, udah.. Tari janji ngga akan balik ke sini lagi asal Papa sama Mama jangan ribut gara-gara Tari." Suaraku terisak melerai mereka. 

Sebelum berbalik pergi, Tania memelukku dari belakang. Tangisnya membuat hatiku rapuh. Aku terdiam merasai rangkulannya yang takut kehilangan. 

"Mbak jangan tinggalin Tania," tangis adikku yang baru menginjak remaja itu. 

"Tan, Mbak kan memang udah lama gak tinggal di sini. Harusnya Mbak memang udah ngga di sini."

"Mbak Talita udah gak ada. Tania kesepian," rengek Tania masih tersedu. Kami sama-sama menangis tersedu. 

"Masih ada Samir, dek. Kamu juga bisa main ke rumah Mbak kapan aja." Kuseka air mata di pipi Tania. 

Andai dulu papa tidak menjodohkanku dengan Hito, mungkin aku dan adik-adik masih bisa bersama di rumah ini. Rumah di mana kami tumbuh. Tempat kami saling berbagi, berkelahi dan saling melengkapi. 

Aku melangkah dengan gemetar. Mata Samiri berkaca-kaca menyerahkan kunci mobilnya. 

"Sam, kalau mobil kamu buat Mbak, ntar kamu pakai apa?" 

"Sam masih punya motor, Mbak."

"Nggak takut diputusin pacar, gegara naik motor." aku menelisik respon Samir. 

"Misalkan Sam punya pacar model begitu. Ya, biarin aja dia pergi. Yang lebih cinta materi, buat apa dipertahankan?" Aku dan Samiri tertawa bersamaan. 

Papa tidak sabar menginginkan perpisahanku dengan Hito, persis seperti dulu tak sabar menjodohkan kami. Padahal tujuh bulan lagi aku melahirkan bayi dan setelahnya akan kukirim gugatan cerai ke pengadilan agama. 

"Pak Reno?" siang ini aku dikejutkan oleh kehadiran dosen durjana itu di kampus. 

"Pak Reno ini yang akan membimbing skripsimu, Tar," informasi barusan bukan hanya mengejutkanku, tapi membuat bulu kudukku merinding. 

"Maaf, Pak. Bukannya pak Reno udah lama keluar dari kampus, ya?" 

"Ya, benar. Tapi di sini kampus. Jangan pernah menghubungkan urusan pribadi diluar kampus kalau kamu mau sukses. Karena Pak Reno ini salah satu dosen pembimbing yang sukses di bidangnya."

Aku menggeleng pasrah. Harus berbuat apa lagi selain mengiyakan kata-kata pak dekan. Targetku harus tercapai tahun ini. 

Begitu keluar dari ruang dekan, aku melangkah sambil menerawang masa depan. Pandanganku menatap kosong. 

"Tar, ke kantin cari makanan yok. Gue dengar Lo hamil. Kasihan tuh orok dibawa melamun mulu." Ajak Naya teman sekelas farmasi. 

"Nggak, ah, Nay. Mau langsung pulang. Di rumahku si Mbok juga udah masak." Aku menolak sambil tersenyum. 

"Hmm... Ya udah deh. Eh bye the Way Zifara ke mana, ya, lama ngga nongol?" 

"Gue kurang tau, Nay. Kita udah lama nggak ketemu. Terakhir dua bulan yang lalu di rumah bokap nyokap."

RuntuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang