4. Bermain Api

41 17 0
                                    

Suka tidak suka, mau tidak mau, aku sudah terjerat dalam rumah tangga yang tak diinginkan. Padahal niat awalnya untuk membahagiakan orang tua.



"Kak Hito, Aku udah buat sarapan. Dimakan dulu dong!" Cowo yang sudah tiga minggu menjadi suamiku, menghentikan langkahnya dengan sedikit kesal.


"Oke. Hari ini, aku makan masakan kamu... tapi, dibungkus! Aku makan bareng Zifa di luar," setelah kalimatnya mengangkatku melambung tinggi, dengan gampangnya cowo tak ber-akhlak itu menghempaskanku.

Istana apa yang dibuatkan orang tua kami? Istana yang di dalamnya ada seorang istri, jadi juru masak untuk suami dan selingkuhannya. lebih tepatnya sekarang, Zifara adalah selingkuhan Hito. Aku merasa sebutan itu tidak pantas, karena aku yang sudah mengkhianati persahabatan kami.


Lagipula, Andrea Suhito itu tak berperasaan. Tega-teganya dia meninggalkanku sarapan sendirian. Untungnya, sejak kecil aku sudah dibiasakan mandiri. Mulai masak dan tugas domestik lainnya jadi terasa ringan. Untuk kali ini, rasanya berat akibat ulah Andrea Suhito yang berlalu setelah kukemasi bekal makannya.


Tadi malam, aku menunggunya pulang hingga larut, tertidur di meja makan. Lauk-pauk sampai dingin dihinggapi hawa malam. Syukurlah aku tidak sebodoh itu menunggunya dengan perut keroncongan. Sehabis masak, kuamankan lebih dulu perut yang cacingnya sudah meronta minta diisi.


Sewaktu terbangun tengah malam, aku kaget karena sudah berada di atas kasur,di sebelah suamiku. Mungkin, dia tidak tega lalu memindahkanku. Aku senyam-senyum sendiri membayangkan perhatiannya.



***



Saat berpapasan di kampus dengan Hito yang menggandeng Zifara, sekarang menjadi pemandangan limbah di mataku. Sengaja kuteriakkan lantang "Go Green.. Go Green.. Di kampus itu tempat belajar, bukan pacaran! Bikin sumpek kayak plastik yang dibuang sembarangan,"


"Tumben, lo sewot... Biasanya juga lo menepi sendiri, tiap lihat kita berdua," cetus Zifa yang nampaknya mulai bingung melihat tingkahku.


Duh, gawat! Aku jadi seceroboh ini. Ya sudahlah, pura-pura dingin saja. Agar dia tidak seperti orang bodoh yang diterpa api cemburu. Mata Hito menatapku bingung.


"Sebagai sahabat, gue mau ngingatin, Zif. Bentar lagi ada ulangan... takut lo gak fokus kalau pacaran terus," aku mengelak sekenanya.


"Ya elah... Kirain lo udah mulai panas sendiri. Karena sampai sekarang belum punya cowo. Makanya, noh lo dekatin dosen muda bernama pak Reno! Kalau perlu, biar gue bantuin. Mumpung dia lagi nginep di rumah bokap."


"Ya udahlah, Beb.. Mungkin besti kamu lagi meriang, makanya mulutnya typo." Hito berusaha menenangkan Zifara.


"Typo? Emang dikira keyword gadget!" Mataku mendelik kesal pada mahluk bernama Hito. Dalam hati 'Awas aja, kak! Sampai rumah, ta' cuekin baru kapok' sembari kakiku melangkah pergi.


Sudah tiga minggu kami menikah, tapi rasanya sama sekali tidak sedang punya suami. Pergi dan pulang ke kampus masih menyetir sendiri dan yang lebih parah, biasanya saat tiba di rumah, ada canda tawa ketiga adikku, tapi di sini lengang bak istana tak berpenghuni.


Dua hari yang lalu, aku memesan asisten rumah tangga untuk dipekerjakan membantuku. Semua kupesan sesuai arahan Hito. Mungkin hari ini ART itu baru akan datang. Jadi aku harus pulang ke rumah.


Begitu Toyota ayla kuparkir depan garasi, Hito muncul seorang diri. Ingin sekali aku memasang wajah jutek, kalau saja tidak ingat petuah dari mama. Buru-buru aku memasuki rumah, saat melihat sekilas security membukakan gerbang untuknya.

"Tari," entah mau apa dia memanggil.


"Di kamar aja kalau mau ngomong. Aku capek," Sahutku lemah. Kudengar derap langkahnya mengikuti hingga di kamar kami yang terletak di lantai dua. Aku segera menyiapkan pakaian ganti untuknya, kemudian berlalu memasuki toilet.


"Thanks, ya, kamu udah berusaha jadi istri yang baik. Aku rasa... kamu ngga perlu sampai seperti ini. Aku khawatir kamu sakit dan kecewa kalau aku milih Zifa." Kalimat yang menancap tajam di telinga hingga seakan menembus jantungku, awalnya terdengar lembut. Namun, ada perih yang menjalar di sana, saat aku baru keluar dari toilet.


"Maksud Kak Hito?" ingin kupastikan kejelasan tentang ucapannya barusan.


"Tar, kita sama-sama tau tujuan pernikahan ini. Jadi, aku berharap kita bisa saling mengerti. Kamu jalani seperti biasa aktifitas sendiri. Aku juga. Supaya ngga jadi beban untuk kita berdua," aku mulai mengangguk menyapu poni yang mulai memanjang.


Lalu, buat apa aku sedih jika memang benar ucapannya barusan? Toh, kami tidak saling mencintai. Apa karena aku akan merasa berdosa, jika tidak menunaikan tugas seorang istri.


"Tapi, maaf, Kak. Jangan ge-er. Aku di sini hanya mematuhi saran Mama sebagai anak yang berbakti. Selebihnya, terserah Kak Hito. Mau jadi suami bertanggung jawab, atau tidak... ya bukan urusanku. Yang penting, tugasku ter-lak-sa-na." Tegasku penuh penekanan.



***


Mungkin, Mbok Minah heran setiap kali mendapati kami yang selalu dingin, tapi dia tidak berani berkomentar karena baru tiga hari bekerja dan menetap di rumah ini.


Seperti biasa, tiap malam aku menyediakan aneka lauk-pauk. Baik itu akan dimakan nantinya, atau justru tidak disentuh sama sekali. Terkadang, cowo astral yang berasal entah dari planet mana itu, angin-anginan makan malam di rumah. Seperti malam ini, dia pulang lebih cepat dan kami dinner berdua.


"Mbok makan bareng sini!" Ajakku pada mbok Minah yang menatap kami terheran-heran karena tidak pernah ada percakapan intim layaknya suami istri.


"Sudah, Non... Makan duluan tadi. Maaf,"


Demi menutupi rasa penasaran mbok Minah, aku sengaja berbisik saat tengah menyuci piring "Mbok jangan heran... namanya juga aku remaja bau kencur. Umur belum sembilan belas, udah dinikahi."


"Punten, Non. Biasanya kalau usia terpaut jauh itu, bukannya malah manja, gitu,"


"Manjanya di kamar saja, Mbok. Malu kalau dilihat orang. Lagipula, orang sekampus belum pada tau... kalau kita udah menikah," ada seraut wajah kaget kutemukan pada mbok Minah. Walau akhirnya beliau manggut-manggut saja.


Hampir dua bulan berlalu setelah pernikahan sandiwara kami. Masih seperti biasa, aku selalu berusaha menjadi istri yang baik. Ku korbankan seluruh waktu dan masa senang-senang di usiaku, demi menjaga kesucian pernikahan. Besok, tepatnya hari ulang tahunku ke sembilan belas. Biasanya setiap tahun dirayakan bersama mama, papa dan adik-adik.


"Kak Hito, besok pulang ngampus aku ke rumah Mamah, ya. Kangen sama mereka. Kebetulan besok ada acara penting, jadi aku harus hadir di sana,"  kudekati Hito yang tengah sibuk di ruang kerjanya. Sengaja tidak kuberitahu hal penting apa, agar dia bertanya sendiri atau malah menawarkan diri untuk ikut serta.


"Ya sudah, salam buat Mama sama Papa. Aku lagi ngurusin tender proyek besar, nih.. Nanti sampaikan gitu ke papa." Sempat syok mendengar jawaban datarnya yang sama sekali tidak menoleh padaku, tapi ya sudahlah. Mungkin memang modelnya seperti itu, mau diapakan lagi.



***


Setelah jam dua belas malam tadi aku mendapat kejutan dari mamah dan papah yang mendadak datang ke rumah, di kampus juga kejutan bertubi-tubi datang memberiku hadiah. Mulai dari bunga dan cake tart beragam rupa.


Pulang dari kampus dijemput oleh Tania, Talita dan Samir adik-adikku yang tadi malam tidak bisa ikut memberi kejutan.


"Beb, aku izin... hari ini ngga pulang bareng kamu boleh? Mau ke rumah sahabatku Tarisa, karena kebetulan ini hari spesialnya." Mendengar bahasa pamit Zifara ke Hito aku mulai muak. Sebenarnya, Hito itu pacarnya, atau ojek online. Mau saja mengantar jemput setiap hari.


"Hah, kok..." Talita adikku hampir keceplosan melihat aksi Zifara pada Hito. Mungkin karena belum tahu hubungan antara mereka. Untung aku berhasil membungkam mulutnya.


"Zif, kita ke parkiran duluan, ya. Kami tunggu di sana." ucapku sambil berlalu menarik tangan Talita dan Tania. Syukurlah, Samir hanya menunggu di parkiran. Kalau tidak, bisa apes mendengar protesnya yang panjang tak beraturan.


Di Basement kampus, kujelaskan tentang Zifara, aku dan Hito pada mereka. "Oh, pantesan Mbak nggak ngundang Mbak Zifa pas resepsi," Tania maklum meskipun awalnya kaget. Sedangkan Samir dan Talita ternganga

Bersambung,

RuntuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang