9. Kenangan Halilintar

29 13 2
                                    

POV Tarisa

Ku akhiri diskusi zoom malam itu dan langsung menutup layar laptop lalu meletakkannya di meja sebelah lampu tidur. Teringat keanehan Hito tiga puluh menit yang lalu. Sampai sekarang dia belum masuk juga. Tak ada angin atau hujan badai, secara mengejutkan dia malah menyuruhku pindah kampus. 

"Tar, Udah selesai zoomnya?"

"Udah."

Hito masuk dan duduk di tepi kasur. lalu mengusap anak rambutku. Buat kalian para remaja di bawah dua puluh tahun, jangan buru-buru nikah deh. Kecuali kalau mau merasakan yang namanya pusing mikirin suami menyebalkan seperti dia.

Sudah bagus istrinya kuliah di kampus ternama, yang besar kemungkinan bisa menobatkanku sebagai mahasiswi berprestasi untuk bisa lanjut di luar negri. Ini malah disuruh pindah dadakan. Kenapa tidak sekalian pindah ke beda alam saja.

"Please... Kamu jangan kayak bocah. Aku, sebagai suami cuma minta tolong supaya difikirin lagi. Aku berharap, kamu pindah kampus secepatnya."

"Itu lagi, Itu lagi. Sebenarnya kenapa sih, kak, mendadak nyuruh aku pindah?"

"Reno itu bukan orang baik, Tar. Dia tadi ngancam aku buat ngejebak kamu, kalau sampai kuputusin Zifa. Dan dia ternyata tahu kita ini udah merried." 

Mataku membulat sempurna. Keterangan Hito pasti akurat walaupun sejujurnya sangat tidak logis. 

"Oke. Aku tampung cerita Kakak. Aku percaya sembilan puluh sembilan persen."

"Hah, kenapa pakek nyisain satu persen?" 

"Karena, bisa jadi satu persennya lagi Ka Hito salah tanggap."

"Tar, aku ini khawatir sama kamu,"

"Iya, iya. Justru karena Kak Hito lagi khawatir makanya bisa aja kan, salah." aku merasa memang harus memotong ucapannya, karena kalau dibiarkan bisa semakin aneh.

"Oke. Kalau kamu belum mau mempertimbangkan soal pindah kampus, aku mohon minimal jauhi pak Reno! Besok aku lapor ke dekan untuk minta dosen pembimbing yang baru buat kamu."

"Itu ngga mungkin Kak, yang ada Zifara jatuh pingsan kalau tau status kita sekarang."

Hito mengangguk lesu. Ia seperti orang kebingungan. Salahnya sendiri, terlalu memikirkan ancaman yang belum pasti. Lalu soal pak Reno mengetahui pernikahan kami, itu kabarnya berasal dari mana? aku juga bingung, tapi malas kepo.


***


Belakangan, Hito semakin menunjukkan tanggung jawabnya sebagai suami. Aku khawatir kepergok Zifara setiap kali kami jalan berdua. Sebenarnya, yang selingkuhan Hito itu aku atau sahabatku itu sih? Kenapa malah aku yang kucing-kucingan sama suami sendiri. 

"Siang, Tari," 

"Siang, Pak Reno," 

"Gimana, udah selesai jam kampusnya?" 

"Belum, Pak. Ada jadwal tambahan." Sahutku kikuk.

"Oh, ya. Biasa kalau jadwal tambahan itu 'kan sama saya. Baru kali ini lho, kamu belajar bohong. Ada masalah apa?" tuh kan, aku jadi ketahuan. Habis, mau gimana lagi... bingung nyari alasan. Di sisi lain, aku masih teringat cerita Hito semalam. Kalau benar pak Reno itu bukan orang baik, hancur deh seluruh harapanku. 

RuntuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang