5. Bisa Terluka

40 17 2
                                    


Bahkan, di ultahku saja Hito tidak memberi hadiah atau sekedar ucapan selamat hari lahir dan sejenisnya.

Dua hari setelah perayaan ulang tahunku yang ke sembilan belas, aku mendapati Hito berbincang mesra di telepon. Pasti lagi ngobrol sama Zifara, di sisi kolam renang tempat kami biasa ber-olah raga. Sambil tetap bersikap jadi istri yang baik, kuhidangkan segelas jus mangga dingin di meja dekat kolam.

"Kak, Ini minumannya." Aku keceplosan bicara, lupa kalau dia sedang menelepon. Dengan raut kesal, Hito menutup percakapan di telepon. 

"Duh, Tar... kamu bisa ngga, jangan berisik kalau aku lagi telponan sama Zifa. Kalau tadi suara kamu sampai terdengar sama dia gimana? Lagipula siapa yang minta jus gak jelas ini? kepinteran, kamu. Udah aku bilang, walaupun kita tinggal serumah... tetap bersikaplah biasa aja dan jangan berlebihan!" Kali ini cowo di hadapanku bicara dengan mimik serius dan suara tegas.

Aku terdiam merasakan perih di dada. Kuangkat kepala agar tidak tertunduk dan terlihat lemah di hadapan suami durjana seperti dia."Oke. Maaf, kak, aku ngga sengaja, maaf." ucap ku menahan perih di dada. Duh, Air mata... jangan sampai tumpah di hadapan suami yang tidak punya hati nurani ini. 


***

"Baju gantiku mana?" 

"Ambil sendiri, Kak! Anggap aja kamu itu masih singgle. Itu 'kan yang kamu mau," Sahutku tanpa menatap Hito yang baru keluar dari kamar mandi. Kuteruskan membaca majalah sambil mengunyah keripik pemberian Tania - adikku. Sekali-kali mungkin ada baiknya aku tidak mempedulikan tampang menyebalkannya itu. Lihat saja! bisa tidak, dia mengurus dirinya sendiri. 

Melihatnya kesulitan mencari pakaian di lemari, hatiku menciut. Buru-buru bangkit dan kubantu mengambilkan pakaian yang dibutuhkannya. 

"Daripada lemari berantakan, mending aku ambilin aja, deh. Minggir!" desisku kesal. 

"Kamu juga ngga siapin makan malam buat aku?" tanya Hito setelah berganti pakaian. 

"Tumben, weekend gak ketemuan sama Zifa? Biasanya juga gak pernah makan malam di rumah," Kali ini aku menang melawannya. Cowo yang kini menjadi suami dadakanku, tengah duduk di sofa tepat di sebelahku. Kalau bukan karena takut durhaka pada mama, sudah kubiarkan dia makan hati malam ini. Mataku melirik geram ke arahnya. 

Karena tidak tega, akhirnya kupesan makanan kesukaan Hito lewat gofood langganan. Sambil menunggu makanan datang, ku persiapkan piring dan minum di meja makan. Di dapur tidak ada mbok Minah, mungkin belum pulang dari rumah saudaranya. 

"Besok, pulang dari kampus aku ngga akan balik ke rumah. Kakak ngga perlu cari aku atau nanya aku ke mana. Sesuai apa yang Ka Hito minta, kita jalani hidup masing-masing." Ucapku di meja makan, saat menemaninya menyantap hidangan dari gofood.

Aku sudah muak dengan usaha selama dua bulan menjadi istrinya , tidak satupun tanggung jawabku yang disambut baik olehnya. Andai tembok bisa bicara, mungkin seluruh perabot di rumah kami sudah mengadu tentang tangisku beberapa malam terakhir. Meski tidak ada gunanya aku menggerutu dengan jalan takdir yang kupilih sendiri. Lebih baik menikmati hidup menjadi remaja normal sesuka hatiku. 

Lelah dengan rutinitas menunggunya pulang, jelang makan malam. Mau meneleponnya atau sekadar nge chat ke WA saja, aku khawatir Hito malah bertanya dari mana aku dapat nomor ponsel barunya.

RuntuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang