13. Memory

28 12 2
                                    

POV Hito

Siang itu, saat baru saja keluar dari kantor, aku dikeroyok paksa oleh anak buah ayah Zifara. Mereka mengirim Reno sebagai ancaman untuk mencelakai Tarisa.

"Pak, tolong jangan sakiti istri saya!"

"Oke. Kalau kau sepakat duduk dan berpura-pura tenang di depan Tuan kadi, Tarisa kami biarkan bebas."

Hari ini memang tanggal pernikahan yang telah ditetapkan. Tadinya aku ingin mengelak makanya buru-buru pulang ke rumah hendak menemui dan melindungi Tarisa. Memang takdir tidak bisa dihindari.

(Tar, kamu di mana?) kukirim pesan singkat itu pada Tarisa yang menjadi tumbal mereka.

(Di rumah, kak.)

(Jangan ke mana-mana ya, sayang. Tunggu aku.)

(Baik, Mas Hito kesayangan Tari...) Aku terenyuh membuka balasan pesan yang Tarisa akhiri dengan emot love panjang.

Seluruh keluarga Zifara sudah berkumpul di ruang akad. Aku terpaksa berpura-pura ikhlas menjadi mempelai pria. Ragaku memang ada di tempat ini, tapi jiwa dan pikiranku sudah pulang sejak tadi.

"Saya terima nikahnya Tar~"

"Yang fokus, Nak Hito! Calon istrimu namanya Zifara rucigaratika." Tegur bapak penghulu. 

Aku melirik sebelah kiri, menatap Zifara dingin. Cewe ini memang kusayangi sebab rasa bersalah yang teramat sangat ditambah penyesalan karena kepergian ibunya. Hanya saja, aku tidak pernah mencintainya sebagaimana yang kurasakan pada Tarisa.

"Saya terima, nikah..." Kupejamkan mata setelah gugup mengucap ijab kabul.

"Sepertinya, kita tidak bisa meneruskan akad ini sekarang. Nak Hito terlalu sering gagal. Kita coba sebentar lagi, ya. Saya lihat, mempelai pria sedang menyimpan beban yang mengganggu prosesi ijab kabul."


"Beb, kenapa kamu tega banget sama aku?" Zifara hampir terisak di sebelahku.

"Fa, kalau kamu sayang sama aku. Tolong hentikan Om Renomu itu jangan sampai dia mengganggu Tari lagi."

"Aku engga akan pernah membiarkan kamu dan Tari bahagia."

"Tarisa itu sahabat kamu. Gimana mungkin kamu bisa tega ingin mencelakai dia? aku tahu kedekatan kalian seperti apa."

"Aku ngga peduli. Kalau kamu ngga bisa aku miliki, artinya siapapun ngga boleh miliki kamu." Aku hampir tidak percaya dengan ucapan cewe berkebaya putih di sebelahku. Kebaikannya yang dulu telah menguap entah ke mana.

Tiba-tiba, Samiri menelepon dan mau tak mau aku harus menepi. Tidak peduli seluruh mata memantauku. Di luar gedung, kuterima panggilan yang sepertinya sangat darurat.

"Halo, ada apa Mir?" 

"Mbak Tari kecelakaan. Tadi dia nangis pas nelpon aku, Kak. Mungkin nyetirnya jadi ngga fokus dan barusan aku dengar suara keras."

"Kamu yakin, itu suara kecelakaan? Untuk apa Tari nyetir sendiri, Mir?" 

"Aku juga ngga tau, Kak. Ini Lagi mencari keberadaan Mbak. Kayaknya ngga jauh dari kosan Acep,"

RuntuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang