16. Pura-pura Amnesia

23 7 0
                                    

Pov Tarisa


"Zifara, Lo ngapai ngunci gue di kamar ini? Zifa... pliis lo kenapa sebenarnya?" Aku semakin bingung dengan tingkah Zifara.

"Tunggu aja di dalam, Tar! Ada kejutan buat lo." Zifara menarik kunci dari engselnya setelah menolakku hingga tersungkur di kamar tamu, lalu meninggalkanku begitu saja. 

"Gue datang karena kangen becandaan lo, Zif. Please.. Buka pintunya!"

"Udah, jangan bawel! Ntar juga ada yang bukain." Dari suaranya, Zifara semakin menjauh. Aku pasrah duduk di tepi kasur.

Tidak berapa lama terdengar suara pintu di buka. Refleks aku bangkit menuju daun pintu. 

"Pak Reno?" aku mundur memasang raut ketakutan. Mau apa pak Reno memasuki kamar dan kemudian mengurung kami berdua di dalamnya. 

"Tarisa sayang, Kamu terlihat begitu ketakutan," Keringat dingin mulai bercucuran dari dahiku saat pak Reno dosen yang kudambakan seantero kampus dengan tidak senonoh menyentuh pipiku bersamaan Seringai jahatnya. 

Awalnya kupikir ia hanya akan mengusap pipiku, tapi saat kutepis ia malah memaksaku atas kehendaknya. Seperti biasa, seorang Tarisa dilarang parnoan. Aku tidak boleh kehabisan akal.

"Pak, tolong jangan macam-macam!" Tanganku menunjuk-nunjuk ke arahnya.

"Saya ngga mau macam-macam. Cukup satu macam saja... dan kamu akan segera jadi milik saya," 

"Kenapa Bapak berubah jadi seperti ini?" 

Pak Reno tidak menghiraukan pertanyaanku. Tanpa aba-aba, langsung kugigit tangannya yang terlanjur menyentuh daguku. "Aaau.." ia meringis sebentar. Aku berusaha meraih kunci di saku kemejanya, tapi sayangnya kakiku tersandung akibat cengkraman tangan kiri dosen durjana itu. 

Pelipisku berdarah karena terbentur di ujung sofa. Baru ini aku merasa sangat pusing seumur hidup. Sambil memegangi kepala, aku mengingat banyak hal yang sempat kulupakan. Kejadian yang sama pernah dilakukan pak Reno di sebuah hotel. Terekam jelas saat suamiku datang menjadi pahlawan kesiangan. 

Foto akad Zifara dan Hito yang terakhir kali ditunjukkan mbok Minah. Itu salah satu penyebabku hancur dan menyetir dengan semberono hingga kecelakaan. Ya, kini aku mengingat semuanya. 

"Mau lari ke mana kamu?"

"Pak, saya ngga akan ke mana-mana. Saya mau pastikan nyokap sama bokap untuk menerima Pak Reno jadi suami saya. Saya mohon, Bapak bersabar untuk beberapa hari ini," 

Mungkin ucapanku barusan bisa meyakinkan Pak Reno agar menghentikan niat jahatnya. Aku harus tetap berpura-pura hilang ingatan agar bisa menyelidiki kebenaran tentang pernikahan Zifa dan suamiku. 

"Baiklah. Sekarang mau aku antar pulang, atau kamu pulang sendiri?"

"Bapak antar juga boleh. Tapi, tunggu saya lima menit aja mau ngobrol sama Zifara."

"Saya obati dulu luka di keningmu itu." Mau muntah rasanya mendengar penawaran pak Reno yang sok baik. Daripada dia curiga, lebih baik kuturuti permintaannya. Supaya dia menyangka aku masih tertarik padanya.

RuntuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang