19. Sandiwara Selanjutnya

22 8 0
                                    

Pov Tarisa

Mataku tidak bisa terpejam sedikitpun. Dengan susah payah menahan kepala yang terasa sakit, aku bangkit mengambil minum ke dapur. Lampu ruang tengah sudah mati, mungkin Hito dan mbok Minah telah tertidur sejak tadi.

Kuusap mata yang terasa sembab, sebelah tangan menekan dispenser untuk memindah airnya ke dalam teko kaca. Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari belakang. Saat berbalik, aku menemui sosok pangeran tampan yang tadi seenaknya menamparku.

Kubuang muka ke arah lain. Ini perasaan yang aneh. Entah sejak kapan aku tak sudi lagi menatapnya. Ia diam seribu bahasa, hanya membuka kulkas dan meminum jus di sana, lalu menutupnya kembali. 

"Tar," Masih berani suara itu memanggilku yang hampir beranjak dari dapur. 

"Ada apa? Mau nampar aku lagi," aku enggan menoleh.
 

"Maafin aku!"

"Udah, gitu aja?" Aku memasang wajah malas dan melangkah pergi. Khawatir berdebat sengit lagi. Sejak menyadari telah kehilangan calon anakku, mendadak perasaan ini jadi lebih sensitif.

Jarum jam di kamar tamu menunjukkan sudah pukul 02.00 dini hari. Karena mata belum bisa terlelap juga, kuraih ponsel dari nakas.
 

Ada tugas yang belum diselesaikan. Soal kecelakaan maut yang menewaskan janinku. Itu sepertinya ada unsur kesengajaan. Mobil yang kusetir waktu itu dihalau ke tengah-tengah oleh sekawanan motor yang aku tidak tahu siapa mereka. 

(Salam. Pak Reno, kalau punya waktu tolong jemput saya besok) aku langsung merebahkan tubuh di kasur setelah menekan tombol send. 

Baru terlelap beberapa detik, mendadak wajah nyokap yang suka nyeramahi aku dan adik-adik muncul di benak.

"Kalau Tarisa, Samiri, Talita dan Tania ada masalah, jangan sekali-sekali ceritakan rencana atau masalah itu pada siapapun. Mama maunya kalian selesaikan masalah itu sendiri, dan jangan lupa bangun malam minta petunjuk sama yang bisa ngasih jalan keluarnya. Paham?" Kala itu kami berempat hanya tersenyum mengiyakan.

Tapi, rasanya aku seperti tidak setia. Kalau bangun malam baru sekarang, di saat ada masalah. Waktu lagi ada maunya saja baru menghadap Tuhan. Daripada tidak sama sekali, lebih baik langsung  dilaksanakan.
 

***

Pagi ini, tumben Hito sudah berangkat ngantor tanpa berpamitan. Ada bagusnya, aku jadi leluasa pergi dijemput pak Reno. Toh tujuanku juga untuk penyelidikan sejauh apa Zifara dan pamannya Reno bekerja sama. Orang bijak bilang, akan lebih mudah memergoki kedok musuh jika kita berpura-pura berpihak padanya. 

"Kita langsung ke rumah Zifa?" 

"Iya, Pak. Langsung aja."

"Oke. Saya antar sekarang. Setelah ini saya harus berangkat ke telkom."

"Lho bukannya bapak masih dosen di kampus kita?" Aku pura-pura bertanya meski sudah lama tahu beberapa bulan sebelum kecelakaan itu, Papa sudah memecatnya.
 

"Saya sudah resign dari sana. Mungkin kamu belum ingat sesuatu."

Dasar penipu kelas kakap. Ngakunya mengundurkan diri padahal cuma akal bulus doang untuk menghindar. Atau jangan-jangan soal rekaman suara Hito itu juga tidak benar. Terlalu sering cowo amatir ini menipuku. Kesurupan apa, dulu aku bisa naksir sama makhluk aneh sejenis itu. 

"Oh, jadi sekarang Bapak kerja di Telkom!" Kulirik ia yang tengah fokus menyetir sambil tersenyum mengangguk.

"Maaf, ya, Pak. Tarisa udah ngerepotin."

RuntuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang