7. Mulai Cemburu

42 16 2
                                    

POV Tarisa

Saat malam menjelang, aku uring-uringan pulang ke rumah. Kesal setiap kali mengingat Zifara tadi siang minta kiss sama Hito. Curiga mulai menghampiriku. Apa jangan-jangan selama ini, mereka sudah berhubungan terlalu jauh sampai-sampai suamiku tidak tega melepas sahabatku itu.

Aku memang bukan remaja alim. Tidak pakai jilbab seperti teman-teman kampus lainnya, shalat juga sering telat meski rutin lima waktu. Namun, istri mana yang tidak kecewa jika semasa gadis selalu menjaga kesuciannya, kemudian mendapat suami rendahan.

"Kak Hito, kenapa?" Aku kaget mendapati dia yang terbujur di atas kasur dengan tubuh tertutup selimut dada, gemetar pucat pasi.

"Tar.. Tel-pon ma-ma!" suaranya lemah dan terbata. 

"Mamaku atau Mama kamu?" mendadak aku panik. Ini orang sakit, bukannya minta ditelepon dokter. Malah nyuruh aku manggil ibunya. Idih, anak mami juga ternyata. Dalam hati, aku geli sendiri.

"Ma-maku."

"Oke. Tenang dulu, ya, Mas suami. Kamu udah makan malam belum?" Aku mencoba bercanda.

"Udah dua hari,"

"Apanya yang dua hari?"

"Belum makan. Ngga kamu siapin." Tawaku hampir pecah, tapi kutahan sambil tersenyum penuh kemenangan.

Ya ampun, katanya tidak perlu dilayani berlebihan, tapi  dia sampai sakit gegara tidak makan dua hari. Boss besar ternyata bisa se-cemen itu juga.

"Tunggu di sini! aku ambilin makan terus aku kompres."

Tidak tega, terpaksa kusuapi pelan-pelan makanan yang disediakan mbok Minah. Baru ini aku bertemu orang sakit yang demam tinggi, tapi makannya lahap sampai sepiring.

"Ini, Non, kompresnya."

"Letak di sini mbok!" perintahku pada Mbok Minah sambil menunjuk meja di samping kasur.

"Tuan nggak mau makanan yang mbok sediakan, Non. Lebih enak buatan Non, katanya." Begitu keterangan si mbok sebelum meninggalkan kami berdua di kamar.

Aku menatap Hito dengan raut penuh tanya, lalu mengompres dan memberinya obat penurun demam. Sorot mata yang biasanya tajam memesona, kini tampak sayu tak berdaya. 

"Maaf, kalau aku akhir-akhir ini kurang siaga jadi istri. Tapi bukannya, itu yang Kak Hito mau?" 

"Kamu udah telepon Mama atau Papa?" eh dia malah balik bertanya, tidak meresponku. Nyebelin. Kalau bukan suami, sudah kuremas-remas mukanya.

"Udah, tenang aja. Paling ntar juga datang."

Beberapa menit kemudian, mama dan papa mertua sudah muncul di kamar kami. Mama terlihat panik. 


"Kenapa, kamu nak?" 

"Kecapean pasti. Ngurusin Tender ngga ada habisnya. Lagian serakah... ngambil proyek-proyek besar. Bukannya dibagi ke perusahaan Papa, biar kantor orang tuanya maju lagi," 

"Ngga enak sama atasan Hito, Pa. Rezekinya emang begitu. Aku cuma demam, tapi udah agak baikan ini. Barusan disuapi Tari... udah minum obat juga."

RuntuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang