20. Curiga

26 10 3
                                    

POV Hito

"Kenapa lagi mukamu memar-memar, Hito? Udah kayak zaman SMA aja. Jangan bilang, habis berkelahi." Papa menurunkan kaca matanya begitu aku sampai menyalaminya di ruang keluarga. 

"Ma, Pa, maafin Hito kalau belum bisa membahagiakan Mama sama Papa,"

"Kamu kenapa tiba-tiba ngomong gitu sama Papa?" Mama bertanya sambil meletak tiga cangkir kopi susu di hadapanku dan juga Papa.

Setelah kejadian tadi malam, aku semakin yakin bahwa cinta Tarisa mungkin lebih besar untuk dosen amatirnya itu. Semalaman aku memikirkan tentang dia yang sama sekali tidak mempedulikanku saat bergelut.

"Seperti yang Mama dan Papa tau... Tarisa dari dulu ngga pernah cinta sama Hito, Pa."

"Itu 'kan hanya masalah waktu. Buktinya kalian hampir punya anak. Yang penting kamu harus ingat kondisi Tarisa sekarang. Kan dia masih amnesia, jadi wajar kalau kamu dicuekin, Nak."

Mama menasihatiku panjang lebar. Sementara papa hanya mengintip dari balik koran yang tengah dibacanya, sesekali menyeruput kopi susu buatan nyokap.


"Ma.. Bahkan dalam kondisi yang sekarang ini aja Tari lebih bela mantan dosen yang namanya Reno itu dibanding aku yang suaminya sendiri."

"Maksud kamu, si Reno yang waktu itu sudah dipecat?" Papa baru angkat suara, menurunkan koran bacaannya.

Aku mengangguk melirik papa dan Mama yang setengah terkejut.

"Belain gimana maksud kamu, Nak?"

"Hito udah bilangin jangan mau dibawa jalan sama Reno, tapi Tarinya tetap ngga mau dengar... dan,"

"Dan apa?" Papa jadi tidak sabaran sendiri mendengar ceritaku.

"Tadi malam Hito emosi karna Tari dibawa sampai tengah malam sama Reno. Begitu nyampai di rumah, Hito langsung nyerang Reno sampai akhirnya kita gelut." Mama yang sejak tadi masih berdiri kini terduduk di sebelahku, menyimak dengan seksama.

"Hito luka-luka sampai susah jalan dan bernapas, bisa-bisanya Tari lebih milih nolongin Reno dibanding Hito."

"Hito...Hito, Papa lihat kamu tuh kayak anak SD. Perkara begituan saja diadukan sama Papa, Mama." Aku terkejut mendapat jawaban dari papa.

"Lagian kamu, sih, Nak... Reno datang harusnya diajak ngobrol baik-baik, ditanyain dulu. Jangan langsung main gebuk." Duh, orangtua ku. Andai kalian tahu sudah dua kali Reno menyekap anak semata wayang mereka dan tak pernah aku mengadu. 

"Tapi ini serius, Ma. Tari sama sekali ngga ada manis-manisnya sama Hito. Aku ngerasa, dia udah beda dan kayak orang lain,"

"Kamu yang sabar, Nak. Kita tunggu aja sampai Tarisa ingatannya pulih. Mama selalu berdoa supaya kalian rukun lagi seperti dulu."

Papa melanjutkan bacaan korannya sambil mengamini panjang. Sementara aku hanya bisa merapatkan kedua telapak tangan, tertunduk lesu memikirkan semua yang terjadi secara tiba-tiba.

"Ya udah, Kamu ngga ngantor, Hito?" Mama mengusap lembut bahuku sambil tersenyum menenangkan.

RuntuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang