32. Pasrah

13 4 0
                                    

POV Hito

Malam ini adalah hari kedua aku resmi menikahi Sakira. Karena kondisi mama masih lemah, aku dan Sakira menginap menemani mama di kamarnya. 

"Hito, kamu nggak pulang ke rumah? Kasihan Tarisa pasti menunggu." Aku terdiam di depan mama. Andai mama memang punya belas kasih pada Tarisa, kenapa juga harus menyeretku pada situasi sesulit ini. 

"Pagi tadi udah Hito susul ke kontrakan, tapi Tari gak ada, Ma. Di rumah yang lama juga cuma ada Mbok Minah."

"Di rumah mertuamu?" 

"Gak dibolehin masuk sama satpam." 

"Mertua kamu masih maksa supaya dicerai, ya?" Aku mengangguk lemah. 

"Kamu cinta sama Tarisa?" Aduh mama, malah bertanya di depan Sakira. Aku mengacak rambut gusar. 

"Dari kecil, Hito sayang sama Tari, Ma. Sampai kita menikah, dia selalu berusaha jadi istri yang baik. Hito jadi merasa ada yang nggak lengkap tanpa Tarisa." terangku lalu mengusap wajah dengan kasar. 

"Besok pagi, bawa Mama datang ke rumah mertuamu!" 

"Mama yakin?" Aku sedikit bingung. 

Sakira menatap kami berdua dengan mata sendunya. Bahkan sampai saat ini aku belum mengajaknya bicara. Hanya sesekali untuk minta tolong menemani atau mengambil makanan untuk mama. 

***

"Maaf, Mas Hito... Non Tarisa dirawat inap di rumah sakit."

"Hah, sakit apa, Pak?" Aku dan mama bertukar pandang penuh tanya, masih berdiri menunggu di depan gerbang rumah papa Ivan. 

"Hubungi Den Samir saja, Mas." 

Aku meraih ponsel di dalam saku dan langsung menghubungi Samir. 

"Halo, Kak Hito datang aja ke rumah sakit sentra medika. Mumpung Papa lagi gak di sini. Mbak lagi ditemani Tania." Tanpa ditanya, suara di seberang sana menjelaskan panjang lebar. 

Aku bergegas membawa mama ke rumah sakit yang dimaksud Samiri. 

Di sana, Tarisa tampak terlelap dengan bantuan infus di tangan. Perawat menyuruh Samir dan Tania keluar dari ruang inap, agar pasien dijenguk bergantian. 

"Kandungan ibu Tarisa lemah, Pak. Belum tahu sampai kapan harus bedrest di sini." penjelasan perawat itu jelas membuat aku dan mama tercengang.

"Kandungan, maksudnya sus?" 

"Bu Tarisa sedang hamil delapan minggu."

Kupeluk mama dengan tangis haru. Setelah suster keluar, kami mendekati ranjang di mana Tarisa terbaring. 

Kusentuh pelan pipinya yang dingin, mengecup tangannya yang mulai bergerak merasakan kehadiranku dan mama. 

"Ma..." Lirih Tarisa pertama kali membuka mata. Pandangannya tertuju hanya pada mama. 

"Sayang, kenapa kamu gak bilang kalau lagi hamil?" pertanyaanku memaksa Tarisa untuk menoleh. Ia menjawab setelah menepis tangannya dari genggamanku.

"Gimana mau ngasih tau. Diajak sarapan, diajak ngobrol... kamunya malah pergi." Tarisa langsung berpaling. Tercetak jelas gurat kecewa di wajahnya.

"Maafin aku Tar," lirihku kembali menggenggam tangannya meski berulang ditepis. 

"Mama udah sehat?" 

"Tarisa... kamu banyak istirahat dulu, Nak. Mama sehat nih." Mama menghampiri Tarisa, membelai rambutnya seperti dulu. 

RuntuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang