6. Permintaan Papa
POV Tarisa
Aku harus apa, selain diam mendengar ungkapan hati pak Reno. Masalahnya, bukan cuma antara mahasiswi dan dosen yang punya hubungan, tapi aku sadar diri sudah menjadi seorang istri.
Sebut saja aku dan Hito tidak saling mencintai. Di usiaku yang meski masih terbilang remaja, aku cukup faham bagaimana sakralnya ikrar pernikahan. Namun, tak bisa kupungkiri perasaan yang lama memang sudah tumbuh untuk pak Reno. Jauh sebelum aku tahu kalau papa ternyata telah menjodohkanku.
"Masakan kamu enak, Tar. Selain cerdas, ternyata kamu cocok jadi ibu rumah tangga."
Aku tersipu mendengar pujian pak Reno. Tiba-tiba teringat wajah pias Hito, sewaktu tadi aku menyiapkan bekal buat pak Reno.
"Oh iya, kalau kita lagi di luar kampus, kamu jangan panggil saya pak. Panggil aja Mas Reno!"
"Oke, Pak. Eh, Mas," Sahutku tersenyum simpul.
"Aku faham kamu segan. Anggap aja, kedekatan kita ini sebagai perkenalan. Nanti, kalau kamu sudah wisuda baru aku datangi orangtuamu untuk jenjang yang serius," Duh, Pak Reno... kenapa bukan dari dulu dia bicara seperti ini.
"Terima kasih, Pak.. Tapi Bapak jangan berharap terlalu jauh. Khawatir malah kecewa," mungkin saat ini mukaku pucat pasi, merasa telah membohongi banyak orang.
"Maaf, kalau kamu jadi kurang nyaman. Kalau begitu, kamu panggil saya Pak atau senyamannya saja,"
"Baik, Pak. Maaf,"
"Saya paham. Sekarang kamu mau diantar pulang?" wajah lemah lembut penuh perhatian terpancar jelas pada pak Reno, membuatku ingin sekali menumpahkan unek-unek kehidupan padanya.
"Tidak perlu, Pak. Makasih. Tadi 'kan saya bawa mobil. Saya pamit sekarang, ya, Pak." Pandangan kami beradu. Senyumnya terlihat tulus menghargaiku.
Tampang Hito jelas lebih muda dan menarik jika dibanding dengan pak Reno. Meski dosenku itu masih terlihat kinyis-kinyis, tapi belum pernah sekalipun kutemui senyum tulus dari suami durjanaku. Betul kata mamah, cewek lebih butuh kasih sayang daripada modal tampang.
***
Tumben Hito menungguku di ruang tamu. Padahal, biasanya juga masih keluyuran bersama Zifa sampai larut malam.
"Kemana aja, Tar? dari tadi aku nunggu," suaranya terdengar lembut tak seketus biasa.
"Hang-out bareng teman-teman." Sahutku malas.
"Bareng teman, atau dosen muda itu?" Aku tersenyum simpul penuh kemenangan, mendapati raut muka Hito kecewa.
"Kalau aku jalan sama Pak Reno, memangnya kenapa? Bukannya aku juga nggak pernah peduli, tiap kali kamu jalan sama Zifa?" nadaku meninggi.
"Papaku ngundang kita makan malam di rumah. Kamu siap-siap, kita berangkat sekarang!" sepertinya, Hito mengelak, tapi apa peduliku.
Segera kubersiap ke kamar, mengganti dress dan menyanggul tinggi rambutku. Mama pernah bilang, aku sudah cantik sejak lahir. Tidak perlu dandan yang menor, cukup dengan bedak dan blush on tipis yang menampakkan tirus pipiku. Kemudian, dengan sedikit sentuhan eye shadow dan lipstik warna muda, aku memasang senyum terindah untuk dipersembahkan pada mertua saat bertemu nanti.
"Udah siap? Kita berangkat!" senyumku mendadak hilang begitu mendapati Hito muncul di depan cermin. Rasanya mau muntah melihat senyum ramah pertama kalinya yang kuanggap basi.
Mama dan papa mertua menyambut dengan bahagia. Aku dipeluk dan diciumi seperti anak sendiri. Sedikit berlebihan menurutku.
"Ayo sayang, kita dinner bareng! Mama sediakan menu yang enak-enak." Hito memberiku kode agar menggandeng lengannya. Terpaksa, kugandeng lengan si raja Sandiwara.
Di ruang makan sudah ada Tania, Talita dan Samir ketiga adikku. Ternyata mereka juga diundang.
"Selamat datang, manten baru!" sambut Talita dengan riang. Aku melebarkan senyum, terlihat Hito melirik ke arahku sok romantis.
"Mama sama Papa ngga datang, dek?" tanyaku pada Samir.
"Lagi di Bandung, Mbak. Ada tugas. Jadi kita-kita yang mewakili. Lengkap juga 'kan kalau ada kita?" aku mengangguk semringah mengiyakan Samiri, adikku cowo satu-satunya. Adik lelaki yang kian hari bertambah dewasa. Di usianya yang hampir tujuh belas tahun, sepertinya sudah boleh digodain.
"Gebetan kamu ngga dibawa, Dek?"
"Aih, Mbak Tari. Sejak kapan, Samir punya girl friend? kali... nunggu selesai kuliah dan dapat kerja, baru mikir ke sono." Tania dan Talita tertawa sumbang menangkap raut wajah sok lugu Samir.
"Nunggu nanti, atau takut nembak si doi?" Goda Talita yang berusia empat belas tahun, disambut cengiran Tania yang masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Kedua adik ceweku itu tumbuh remaja hingga bisa kompak menggoda kakaknya.
"Gimana rasanya, setelah hampir tiga bulan menikah... lebih bahagia pas masih singgle atau sekarang?" tanya papa di pertengahan makan malam kami. Leher jenjang papa masih dibalut syal tebal, mungkin karena penyakitnya sering kambuh.
"Bahagia dong, Pa. Lihat saja wajah Hito sama Tari... makin semringah. Aura cakepnya itu loh, lihat! serasi banget ya?" mama yang menyahut.
"lho, Papa nanya ke anak-anak. Kenapa malah mama yang jawab," kami berlima terkekeh melihat tingkah mertuaku.
"Jadi, kapan kalian kasih Mama sama Papa cucu? Papa udah gak sabar nimang cucu, nih.." aku dan Hito tersedak bersamaan. Seketika, rasa bersalah itu muncul.
Aku diam menggigit bibir bawah. Kak Hito menghela nafas dalam. Tatapannya sudah tak lagi membuatku salah tingkah. Setiap melihat wajah tampannya, aku tak lagi tertarik dan sangat lelah mengingat kemesraannya bersama Zifara.
***
Setelah permintaan papa di meja makan tadi, aku dan Hito saling menoleh penuh makna di kasur kami yang tengahnya tetap disekat oleh guling. Hito itu cowo yang penuh misteri, hingga tak bisa kutebak raut wajahnya. Aku juga tidak mau pusing membaca isi kepalanya. Yang aku pikirkan sekarang, harus sampai kapan Sandiwara pernikahan ini berlangsung?
"Tar, maafin aku yang menyeretmu terlalu jauh." Ucapnya. Kulihat binar matanya mendadak tulus.
"Gak perlu minta maaf, Kak. Memang kondisinya yang memaksa kita masuk ke dalam rumah tangga semacam ini," Aku ogah berlama-lama menatapnya. Kupejamkan mata setelah berpaling memunggunginya. Padahal mama pernah bilang, pantang tidur memunggungi suami. Aku rasa itu tidak berlaku bagi suami menyebalkan seperti dia.
POV Hito
Hari ini, aku berpapasan kembali dengan istriku di kampusnya. Jujur, aku juga mulai bosan menghadapi tingkah manja Zifara yang suka seenaknya menyuruh datang ke kampus pada saat jam kantor.
"Ada apa sih, Fa? bisa nggak, lain kali kalau ada perlu... jangan ganggu di jam kerja!"
"Beb, kenapa kamu akhir-akhir ini berubah? lebih sering manggil nama dibanding panggilan mesra," rengek Zifara saat kutemui di kantin kampus.
Aku tahu Tarisa pura-pura sibuk dengan bukunya sambil sesekali menikmati es krim. Ku lempar senyum tipis ketika mata kami beradu. Wajah cantiknya kini berubah jutek dan cuek. Dia pasti sudah tidak mau menyambut senyumku.
"Tarisa nanti pergi sama pak Reno ke toko buku. Aku siapa yang nemani, Beb?" Zifara masih merengek manja. Aku terkesiap mendengar nama dosen itu disebut lagi.
Atau mungkin, aku sudah mulai jatuh hati dengan pesona istriku yang penyabar. Aku terus saja menatapnya karena Zifa tak pernah menaruh curiga. Tidak ada respon dari Tarisa, meski aku menunggu sampai dia menoleh lagi ke arah suaminya yang mulai bucin.
"Ya udah deh, aku titip keperluan kampus ke Tarisa aja. Kalau kamu sibuk, balik ngantor lagi, Beb!" alamak Zifara! jauh-jauh aku menempuh jarak macet dari kantor menuju kampusnya, sekarang malah menyuruhku balik seenak jidatnya. Kutarik napas dalam sambil beristighfar menahan emosi.
"Ya udah aku balik. Banyak tugas di kantor yang harus diselesaikan." Perlahan aku melangkah sambil terus memerhatikan Tarisa yang masih cuek.
"Tunggu, Beb!" kuhela napas kembali sambil barbalik kesal dengan panggilannya.
"Cipiki belum," napasku jadi tidak beraturan mendengar permintaan langka dari Zifa. Aku memang pernah mencium pipinya, tapi itu terjadi saat aku merayunya yang tengah merajuk. Selebihnya, kami tidak pernah berpacaran yang macam-macam.
Tari langsung menoleh ke arah kami, mungkin karena terkejut. Raut wajahnya tampak kecewa menatapku. Ingin sekali kujelaskan padanya sesuatu. Tidak pernah terjadi apa-apa antara aku dan Zifa.
Tarisa menutup bukunya keras dan hendak bangkit dari duduk. Aku tahu, istriku itu pasti salah paham. Aku sendiri tak mengerti mengapa jadi fokus pada Tarisa "Maaf, Fa, aku buru-buru, ditunggu klien." Tegasku langsung berlalu sebelum Tarisa yang pergi lebih dulu meninggalkan kami.Bersambung,
KAMU SEDANG MEMBACA
Runtuh
RomanceTarisa tidak pernah menduga bahwa ia dijodohkan dengan pacar sahabatnya sendiri. Awal Tarisa dan Hito mengarungi biduk rumah tangga yang cukup pelik hingga berujung jatuh cinta akan persahabatan masa kecil mereka. Namun, ketika Hito menikahi Syakira...