10. Jejak

36 12 0
                                    

POV Hito

"Awas, Tante!" aku berteriak ketika gedung proyek yang tengah dibangun runtuh mengenai seorang ibu paruh baya yang menjadi salah satu clientku.

"Mami..." putrinya histeris menghampiri jasad sang ibu yang terlanjur bersimbah darah. 

Saat itu, usia Zifara baru enam belas tahun. Dia menemani sang ibu ke lokasi tempat proyek perdanaku yang gagal total. 

"Kamu temani Zifara terus, Nak Hito! dia belum terbiasa jauh dari Tante." Kalimat terakhir dari ibu kandung Zifara setelah sadar dari koma, dan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. 

Rasa bersalah, kasihan dan tidak tega menyatu dalam kalutku. Saat itu juga, Zifara kehilangan sosok ibu. Gara-gara papa melantik aku sebagai arsitek utama, padahal waktu itu aku masih magang. Jika keluarga Zifara menuntut pastilah aku dipenjara. 

"Kak Hito..." tangis Zifara sambil terus memelukku di awal kepergian ibunya.

Mimpi yang kerap mengganggu tidurku. Bahkan, setelah aku resmi menjadi suami Tarisa. Di alam bawah sadar, Tarisa bilang aku sering menyebut nama Zifara. Seolah aku amat mencintai gadis manja itu. 

Sementara, ayah Zifara masih menuntut agar aku tetap setia pada putri kesayangannya. Di sisi lain, kedua orang tuaku tidak pernah menyetujui hubungan kami. Kini, di saat aku mulai mencintai Tarisa, pak Reno yang ternyata paman Zifara mendadak muncul. 

"Emang ada, tampang seorang Tarisa punya bakat untuk balas dendam?" itulah jawaban terakhir dari Tarisa sebelum dia meninggalkanku tidur pulas sore tadi. 

Malam ini kupandangi wajah ayunya dalam lelap. Usianya baru sembilan belas tahun, jadi wajar kalau terkadang Tarisa masih kekanakan. Mungkin dia masih kesal soal kemarin kupaksa pindah kampus. 

***

"Kak, Ini sarapannya. Aku langsung berangkat."

"Lho, Tar... bukannya siang, ya, jam kamu ngampus?" 

"Ini bukan urusan kampus, Kak. Aku mau ketemu Talita, Tania sama Samir. Ada hal penting yang harus dibicarakan."

"Aku antar ke rumah Mama, ya.."

"Ngga perlu, Kak. Itu Zifa kemarin marah-marah lho... karena ngga ketemu sama kamu. Mending kak Hito susulin aja deh!" 

"Tapi Tar, Tari.." Aku mengimbangi langkahnya yang terburu-buru menuju garasi. 

"Kak.. Please ya, nanti aku cerita kalau urusannya udah klir. Sekarang aku mau berangkat sendiri aja. Kamu sarapan sana!"

Tarisa sudah bukan bocah seperti dulu lagi yang segala sesuatunya masih mudah diarahkan. Mungkin, memang waktunya aku harus membiarkan Tarisa pergi sendiri. 

Puluhan misdcall dari Zifara tidak kupedulikan. Semakin si Reno itu mengancam, akan kujauhi Zifara. Mungkin, dosen amatir itu menyangka aku takut dengan ancamannya. 

"Beb, aku kangen." Inilah yang aku khawatirkan sepanjang perjalanan. Zifara sudah lebih dulu tiba menunggu di ruang Kerja. 

RuntuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang