"Ayo cepat, Rosé! Apa yang kau tunggu?!"
Segala teriakan dari ayahnya terasa sangat egois bagi Rosé.
Rosé mengangguk untuk Jisoo, meski Jisoo tidak akan bisa melihatnya. "Aku menunggumu di luar, Unnie. Aku tidak peduli, aku tidak mau mengobatimu lagi." Rosé menahan pintu mobil yang sudah dibukakan ayahnya. Memandang Jisoo yang berpusat fokus pada peledak, seperti balita yang penasaran tentang mainan barunya.
"Park Roseanne!"
Rosé menyesal dan merasa buruk ketika ayahnya terlihat begitu saja ingin pergi tanpa ada beban rasa bersalah yang mungkin sedikit menahan.
Rosé keluar. Pintu mobil tertutup. Kaki Rosé baru maju selangkah. Bukan suara ledakan atau yang lainnya yang membuat matanya melebar, dengan jantung seakan telah berhenti berdebar, dengan nafas yang sepenuhnya tertahan.
Hanya sekelebat objek melesat. Sekarang Rosé sudah mendapati ayahnya tergeletak.
Tanpa kesadaran yang benar-benar penuh, Rosé terduduk dengan mata kosong terus memandang sekujur tubuh di depannya. Teriakan orang-orang sama sekali tidak masuk ke telinganya.
Ketika waktu seakan kembali berputar, dia merangkak semakin jelas melihat darah menggenang dan mungkin kebenaran bahwa ....
"Appa!" Rosé mengguncang tubuh ayahnya. "Tolong." Seakan seketika lupa dirinya seorang dokter yang biasanya menyelamatkan orang.
"Ambulans, cepat!"
Rintihan dan teriakan tangis Rosé hanya semakin keras ketika matanya melihat jelas sebuah lubang di pelipis kiri ayahnya.
Seseorang memeluknya, itu ibunya. Pandangan Rosé terhalangi oleh dekapan ibunya. Rosé meremat tubuh ibunya seiring nyeri hatinya kian merajam.
"Bomnya berhasil dinonaktifkan." Itu pengumuman yang Jisoo buat untuk rekan-rekannya.
Jisoo masih tengkurap di dalam mobil. Dia melemaskan diri dan menormalkan nafas serta ketenangan sebentar, lalu memutuskan keluar untuk mencari tahu penyebab kericuhan masih terdengar sampai sekarang.
Tempat itu lebih minim petugas yang menjaga sekarang, tapi masih cukup untuk menahan yang tidak berkepentingan lewat.
Ketika melewati sisi lain mobil, setengah jiwa Jisoo serasa tertinggal dan terlambat beberapa detik untuk sepenuhnya sadar. Rosé sedang ditenangkan Bae Suzy, ibunya Rosé. Entah sudah menjadi jasad atau masih bernyawa, tubuh Park Sunho dibawa menggunakan brankar ambulans.
"Rosé, Ahjumma ...." Jisoo memegang pundak Rosé dan Bae Suzy untuk menyadarkan mereka. "Tuan Park akan dibawa ke rumah sakit, kalian berdua harus menemaninya." Jisoo mengusap-usap pundak Rosé meski tahu itu tidak akan membantu banyak.
Jisoo meninggalkan mereka ketika dua petugas ambulans mengarahkan Rosé dan ibunya untuk ikut ke mobil. Mata Jisoo menatap ke jendela lantai enam gedung Galeri Nasional. Bomnya hanya pengalihan. Mereka, bukan, Lisa merencanakan kematian Park Sunho supaya bisa dilihat langsung oleh Rosé, seperti Lisa melihat ibunya meninggal di depan matanya.
"Lisa ...." Jisoo berlari tergesa-gesa ke lantai enam.
Jisoo sudah pasti sangat terlambat, karena rekan-rekannya pasti akan sampai di sana lebih dulu. Lisa bisa saja tertangkap.
"Lisa." Jisoo tidak peduli itu salah atau benar. Jisoo hanya ingin menyelamatkan adiknya, lalu akan mengubahnya menjadi lebih baik.
Tangga atau lift? Lift-nya sudah di lantai dua hendak turun ke lantai satu. Jisoo memutuskan menunggu. Di sana sepi karena semua orang sudah di evakuasi.
YOU ARE READING
Incomplete: Part 3. J-key and Lilac
Fiksi PenggemarPertemuan kami bukan puncaknya, perpisahan di antara kamilah akhirnya. Tekad Jisoo untuk menemukan adiknya yang berponi tidak sia-sia. Tidak pernah sekali pun terbayangkan dalam daya perkiraan Jisoo, dia akan menghadapi Lisa yang telah berseberangan...