2. Newspaper Highlights: Jan Ethan

327 36 2
                                    

"Kamu, tuh, ya Mama bilangin, umur kamu itu udah mateng semateng matengnya. Masih aja kepikiran buat main."

Saura menuangkan air dingin ke dalam gelasnya, lalu meneguknya tanpa sisa diiringi oleh ocehan Mama yang entah sudah berapa jam terurai.

Seraya memotong cabai, mulut Mama tetap bergerak tiada henti mengomelinya. Bahkan bisa Saura yakini bahwa cabai yang sedang Mama potong tidak sepedas ucapan Mama kepadanya mengenai kejomblowatiannya.

"Apa sih yang kamu cari lagi, Ra? Pusing Mama, tuh."

Saura mendekat ke wastafel dan mencuci gelas yang habis dipakai olehnya.

"Mah, sebenernya apa sih yang harus Mama pusingin tentang aku yang jomblowati ini?" Akhirnya, Saura berani menghanturkan pertanyaan ini untuk Mama. Sering terdiam ternyata membuat Saura yang lebih pusing dari Mama.

"Kamu tuh nggak tau ya, Mama sering ditanyain temen-temen Mama sama tetangga tentang kamu yang belom nikah-nikah juga." jawab Mama seraya memasukkan cabai yang telah dipotongnya ke dalam telur kocok. "...Mama 'kan jadi gimana gitu."

Saura memejamkan matanya dan berusaha menetralkan emosinya. Lagi-lagi orang lain yang tidak ada konstribusi apa-apa di hidupnya yang sibuk mengomentari dan mengurusi kejomblowatiannya. Memangnya apa yang salah dari tidak punya pacar dan menunda pernikahan? Lagi trendi-trendinya, kok, di jaman sekarang.

Saura mencomot bakwan yang masih tersisa di atas piring. "Terus, Mama bales apa lagi ke mereka?" tanya Saura santai. Ia sibuk mengunyah bakwan goreng yang dirasa kurang asin itu.

"Ya Mama bilang aja kalo kamu bakal nikah secepatnya. Insya Allah tahun ini,"

"Kalo ternyata bukan tahun ini?"

"Hus! Tahun ini pokoknya."

Saura terkekeh pelan, "belom nikah di umur 28 tahun bukan suatu hal yang salah kok, Mah. Aku emang lagi belom pengen aja. Masih seneng main."

"Ya justru itu letak salahnya, Ra. Kamu udah tua, Saura." hardik Mama.

"Masih muda, Mah. Masih bugar, kok."

"Saura, Saura, kamu ini dibilangin ngeyel." keluh Mama, "ini pasti gara-gara kamu keseringan main sama si Ethan."

"Loh, kok jadi Ethan?"

"Iya. Keseringan main sama lawan jenis bikin kamu terhambat jodoh. Kurang-kurangin deh main sama Ethan. Kalian tuh harus menata masa depan dengan baik. Jangan nongkrong sana, nongkrong sini."

Saura mendengkus pelan. Ethan, atau yang bernama panjang Jan Ethan Mahadana merupakan sahabat karib Saura sejak mereka kuliah. Sampai saat ini, persis seperti apa yang dikatakan Mama, Saura dan Ethan masih sering nongkrong di kafe ketika malam minggu atau waktu luang mereka tiba.

"...kamu perempuan, Ra. Harus punya batasan. Ethan juga lelaki, harus punya ruang juga. Mama nggak masalah kalian berteman baik, tapi batas itu harus ada. Apalagi Ethan beda sama kita."

Saura menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kenapa malah membahas Ethan, sih?

Dalam keluarganya, Ethan memang sudah menjadi highlight karena menjadi sahabatnya Saura sejak kuliah. Ethan orangnya begini, Ethan orangnya begitu, pokoknya keluarga Saura sudah mengenalnya. Terlebih perbedaan yang dimaksud Mama adalah tentang Ethan yang beragama kristen. Hal ini menjadikan keluarga Saura menjadi keluarga yang bertoleransi penuh karena menerima Ethan sebagai sahabat baiknya Saura.

Cukup bersebrangan dengan keluarga Saura yang terkenal dengan keluarga muslim yang semi agamis. Terkecuali Saura yang masih singgah menjadi perempuan solehot yang rajin sholat. Hah, ada-ada saja. Namun nyata adanya. Di antara Mama, Aliyah dan Saura, hanya Saura lah yang tidak berhijab. Bukan tidak, tapi belum.

Terlalu Siang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang