32. Behind the journey

183 14 3
                                    

[Jogjakarta, 1 tahun yang lalu]

Titik lelah manusia ada pada pikiran, tenaga dan juga egonya. Jalan satu-satunya supaya lelah itu hilang adalah kembali pulang. Pulang bisa dituju ke mana saja.

Setahun yang lalu, Ethan merasa bahwa lelahnya berada di ujung tanduk. Dia tidak bisa mendeskripsikan atau memaknai jenis lelah seperti apa yang tengah dirasakannya. Akan tetapi ia menegaskan pada dunia bahwa dia tengah kelelahan. Entah pada masalah atau ujian Tuhan yang hinggap di hidupnya.

Jalan satu-satunya untuk menghilangkan penat itu adalah kembali pulang.

Jogjakarta menjadi salah satu tujuannya untuk pulang dan sekedar menghilangkan rasa lelah yang akhir-akhir ini mengganggu stabilitasnya. Di kota tersebut lah ia mengunjungi kampung halaman sang ayah. Tempat tinggal Mbah Kakung dan Mbah Utinya dari Papi, yang kini masih sehat di usia yang sudah setengah abad lebih.

Pagi menyapa dengan aroma petrikor yang kuat. Semalam hujan membasahi tanah Jogjakarta cukup deras.

Pria berpakaian santai dengan kaos putih dan celana levis itu menyesap kopi buatan Mbah Uti-nya. Ia tengah duduk di kursi teras bersama Mbah Kungnya. Baru saja pagi ini ia sampai di Jogjakarta setelah menempuh perjalanan udara dari Tangerang ke Jogjakarta selama kurang lebih 2 jam.

"Gimana kamu di Jakarta, Leh? Mbah nggak pernah ke sana lagi, jenguk kamu, maaf, ya, Leh." Mbah Kungnya membuka obrolan setelah menyesap teh melati hangatnya.

"Kebalik, Kung. Harusnya saya yang minta maaf nggak pernah ke sini lagi buat jengukin Kung sama Uti." Ethan, tersenyum tipis pada Mbah Kungnya. Menatap pria tua berbaju kurung dengan peci putih di kepalanya. Semakin rindu pada Papi ketika Ethan melihat Mbah Kungnya. "Kung sama Uti sehat, kan?"

"Alhamdulillah, Leh. Cuma kadang suka sakit punggung. Maklum, Mbah wis tuwa." Mbah Kung tergelak sampai gigi ompongnya kelihatan.

"Jangan kecapekan, Mbah." ucap Ethan, "Mbah masih ngurus pesantren?"

Mbah Kungnya mengangguk kecil, "masih."

Ethan meresponsnya dengan anggukan. Mbah Kungnya Ethan yang bernama Mohammad Ali Mahadana merupakan seorang kyai—pemilik sekaligus pemimpin pondok pesantren Az-Zakaria yang ada di daerah Jogjakarta. Pesantren tersebut terletak tidak jauh dari rumah. Karena memang masih satu wilayah yang sama.

Seorang wanita tua dengan jilbab panjangnya keluar sembari membawa sepiring bakwan yang masih mengepul asapnya, tanda bahwa bakwan tersebut baru saja matang.

"Monggo, dimakan, Leh." sila Mbah Utinya. Wanita tua itu juga langsung bergabung dan duduk di samping Ethan, "mimpi apa Uti semalam kamu dateng ke Jogja, Leh?" ujar Uti kesenangan cucunya datang.

"Maafin Than, ya, Uti. Nggak pernah ke sini lagi buat jenguk Uti sama Kung."

Uti mengelus kepala cucunya dengan lembut. Beliau tak kuasa menahan haru karena cucu satu-satunya datang setelah sekian lama, "Uti kangen sama kamu, Leh. Kamu sehat, kan, di sana?"

"Sehat Uti. Than selalu sehat."

"Putumu kayane arep njaluk restu, Buk." sahut Mbah Ali sambil terkekeh kecil. Ethan membelalak dan langsung menggeleng sebagai respons, "wong endi, Leh?"

"Mana ada, Mbah. Saya belum punya calon." elak Ethan dengan cepat, "saya ke sini karena emang mau jenguk Uti sama Kung aja."

"Mau cari kembang Jogja, ndak? Kung ada. Sekufu sama kamu." tawar Mbah Ali dengan nada bercandanya.

Uti menggeser netranya ke arah sang suami, "hus! Ojo ngece putuku!" bela Utinya. "Biarin aja dia pilih jalan dan jodohnya sendiri."

Ethan mengangguk setuju pada Utinya, "bener, Ti. Jangan kasih kendor!"

Terlalu Siang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang