21. And The Wall Actually Collapsed

141 14 0
                                    

"Iyaaa, Mbak. Iya, siap. Kalau boleh tau berapa orang, Mbak, biar nanti kami siapkan di sini.."

Saura melirik Mamanya yang kini sedang bertelponan dengan Kakak Iparnya Harsya. 3 hari lagi adalah hari di mana Harsya akan melamarnya secara resmi. Itu sebabnya Mama menelpon Kak Ira—kakak ipar Harsya—untuk menanyakan apa saja keperluan selama acara nanti. Kesehatan Saura sudah membaik. Dia sempat izin tidak masuk kantor selama sehari karena badannya terasa tidak enak.

Mama yang mengetahui Saura sakit apa langsung mencarikan obat herbal dan menyekoki Saura dengan obat-obatan itu.

"Oke, Mbak. Waalaikumsalam warrahmatullah wabarakatuh." ucap Mama mengakhiri sambungan telpon. Kini Mama memang sedang menyiapkan keperluan untuk acara. Tidak terlalu mewah, kok. Saura hanya ingin diadakan acara inti. Pertemuan keluarga saja. Dia trauma mengadakan acara lamaran mewah-mewah. Takut ujungnya tidak jadi menikah. Mimpi buruk sekali bagi gadis itu.

Jadilah ia dan Harsya memutuskan untuk lamaran sederhana. Lamaran habis itu makan-makan bersama. Sudah cukup khidmat. Paling ia hanya mengundang beberapa keluarga, Inka dan...Ethan.

Setelah Mama menasihatinya untuk tidak terlalu dekat dengan Ethan, Saura jadi sangsi ingin mengundang pria itu ke acara lamarannya. Takut Mama bicara yang tidak-tidak jika Ethan datang. Tahu sendiri Mamanya sering berceramah pada siapa saja.

"Kamu undang siapa aja, Kak?"

"Paling Mbak Inka." jawab Saura, "sama Ethan, boleh nggak?"

"Ya undang aja." balas Mama, "maaf, ya, kalo Mama pernah ngomong yang enggak-enggak tentang Ethan. Sekarang Mama sadar kalo ucapan Mama malam itu salah. Mama nggak bermaksud."

"Iya,"

"Kamu nggak cerita ke dia 'kan, Kak?"

"Enggak, kok."

Mama mengangguk kecil. Setelah itu pamit ke dapur.

"Kak, kakinya masih sakit?" tanya Jiel yang baru datang, langsung mengambil kaki Saura lalu memijatnya pelan. Kaki Saura masih bengkak dan membuat gadis itu kalau jalan sekarang pelan sekali. Makanya beberapa hari ini  diantar jemput Jiel.

Saura tidak menolak ketika Jiel memijit kakinya. Anak itu memang yang paling dekat dengannya ketimbang Kak Alden atau Aliyah, "sakit, sih, enggak. Cuma masih bengkak aja."

"Kok bisa, sih, sakit jantung gini. Padahal nggak ada riwayat 'kan?" Jiel bertanya sedang tangannya masih memijat kaki Saura.

"Eyang Ti 'kan ada riwayat penyakit jantung, kata Mama, sih, keturunan."

"Jangan sakit, Kak. Mau nikah 'kan?"

Saura tersenyum melihat Jiel seperhatian ini padanya. "Iyaaaa, Jiel. Ini efek kecapekan juga kayaknya."

"Harsya udah pulang, Kak?"

Saura mendongak untuk melihat Papanya datang sembari membawa sesisir pisang. Entah dari mana pisang itu berasal.

"Udah dari kemaren."

Papa mengangguk sambil mengupas pisang. Lalu memberikannya ke Saura, "nih, Kak. Makan pisang biar cepet sembuh."

"Aku udah sembuh kali, Pa." elak Saura, namun pisangnya tetap diambil.

"Kayaknya gara-gara Kakak sering isep asap rokok Papa, deh, makanya jantung Kakak jadi bengkak."

"Nggak juga, Pa.."

"Harsya nggak ngerokok 'kan?"

Saura menggeleng, "aku nggak tau, dia nggak pernah ngerokok depan aku, sih."

Terlalu Siang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang