33. An Engagement

213 17 7
                                    

Kalau diperkenankan untuk menghitung waktu, izinkan Ethan mentotal waktu kurang lebih satu jam lebih hanya untuk menyaksikan bagaimana gadis berhijab kekinian di sebelahnya ini menangis tersedu-sedu.

Sapu tangan miliknya yang tadi ia berikan untuk Saura sudah basah bak terendam air cucian. Kalau coba diperas, airnya bisa memenuhi ember kecil. Namun kini bukan air cucian yang menjadi penyebabnya, melainkan air mata yang mengalir deras dari netra indah gadis itu.

Ethan meringis. Ia benar-benar tidak tahu kalau efek kembalinya pulang ke Bekasi dan menghadap Saura setelah satu tahun lamanya ia menghilang akan berujung tangis-menangis-entah ini tangis haru atau efek kejut yang tak diekspetasikan sebelumnya.

Mereka sudah duduk sebelahan di kursi yang ada di lobby hotel. Akan tetapi keduanya sama sekali belum berbicara. Masalahnya, setiap Ethan akan membuka suara, Saura pasti menyelanya dengan sesegukan. Membuat Ethan tidak tega melanjutkan dan memberikan waktu Saura untuk menumpahkan air matanya dulu.

"Lo-" ucapan Saura terpotong oleh sesegukannya sendiri. Ini sudah ia lakukan tadi sebenarnya. Ia akan membuka suara tapi sesegukannya tidak mau hilang.

"Minum dulu, minum dulu." Ethan terkekeh dan menyodorkan minuman yang ia dapatkan waktu kajian tadi.

Saura menggeleng (masih sesegukan) dan mengambil pashmina-nya untuk ia gunakan sebagai penghapus air mata.

"Masih nangisnya?"

"Masih!"

"Cim, Cim, gue balik malah lo tangisin." Ethan mencebik dan tertawa receh.

"Lo-" terjeda lagi karena menangis, Saura mencebik, "Mama, nggak bisa berhenti nangis, Maaa." raungnya dan seakan mengadu pada Mama yang sedang rebahan di rumah saat ini.

"Ssst, dengerin gue, Cim-tahan napas..." titah Ethan.

Saura menurut dan ia pun menahan napas sesuai arahan Ethan.

"Nah, pinter! Dah, nggak usah dihembus." ledek Ethan yang langsung mendapat pelototan dari Saura.

"Asem lo!"

Ethan menyengir, "udah, kan? Lega nggak?"

"Enggak!" sinis Saura, "tapi ya udah, lega dikit."

"Apa kabar Cimit kesayangan ku?" tanya Ethan dengan senyum meledeknya. Saura yang seperti itu lantas memutar bola matanya, malas. "Kok judes, sih, lu? Nggak seneng gua kemari?"

"Bodo temen nanan, ah. Setan aja kalah ama elu, Jan Ethan!"

"Gayanya lo kangen berat sama gue, Cim."

Saura mendengkus sebal. Soalnya jawabannya memang betul. Dia sekangen itu pada Ethan. Satu tahun dengan sabar ia menunggu pulangnya Ethan, rasa kangen itu terobati di hari ini.

"Bukan dilan gue mah, Mo-eh, tad, ustad." ralat Saura yang dihadiahi tawa dari Ethan. Mengingat sekarang Ethan sudah menjadi seorang muslim.

"Tetep Romo aja, nggak apa-apa. Kalo di lingkup suku jawa, bahasa Inggrisnya daddy."

"Geli, Than. Sumpah.." respons Saura mengerti maksudnya. Makanya ia berkata seperti itu. Ethan tergelak.

"Gue kangen sama lo, Ra. Gue seneng liat lo sehat wal 'afiat."

Saura menunduk dan memainkan sapu tangan Ethan, "lo ke mana aja selama ini? Kenapa pergi tanpa kabar. Semua sosmed lo deactive, nomer lo nggak aktif juga, rumah lo kosong-cuma ada Bibi aja." omel Saura, membuka kembali apa yang Ethan lakukan selama setahun terakhir, "selama ini gue overthinking tau gak? Terakhir kita ketemu, kita lagi marahan-karena gue biangnya."

Terlalu Siang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang