9. Love is Sacred

169 21 0
                                    

"Mama suka sama anaknya! Dari cara ngobrolnya yang nyambung aja udah menjelaskan kalo dia laki-laki yang tepat buat Saura. Kak, Kak, sejak kapan dia punya posisi penting di perusahaan kamu?" Dari kursi mobil belakang, Mama mencondongkan tubuhnya, mendekati Alden yang sedang menyetir. Lalu bertanya seperti itu.

"Dari setahun atau dua tahun yang lalu kayaknya, deh, Mah."

"Hebat, ya." Mama memuji Harsya.

Saura tersenyum tipis mendengar segala ocehan Mama atau pujian wanita itu tentang Harsya. Mobil yang sedang berjalan pelan dengan penumpangnya ialah Saura, Mama, Papa dan keluarga kecil Alden tersebut membelah kota patriot di malam nan ramai.

3 jam yang lalu, acara pernikahan Aliyah telah usai. Kini, mereka tengah on the way pulang ke The Royal Residence—nama perumahan rumah mereka yang ada di Pulo Gebang. Ngomong-ngomong, Jiel memang tidak ikut naik mobil karena anak itu yang naik motor bersama sepupu mereka.

"Papa juga klop. Kak, dia suka batik keris, nggak?" Papa menoleh ke Alden. Pertanyaan random dari Papa mampu membangkitkan tawa semua orang. Dari jaman Saura berpacaran dengan mantan pertamanya, pertanyaan itu kerap jadi pertanyaan wajib bagi Papa. Maklum, he's the batik keris BA (kata Saura). Kalau ke mall, tidak pernah absen ke outlet batik tersebut.

"Papa, nih, semua aja ditanyain suka batik keris atau engga." cibir Saura sambil terkekeh, "batik Mas Harsya kali aja di atas level keris."

"Terus batik apa, dong, Kak?" tanggap Papa.

"Batik golok." canda Saura yang mengundang tawa.

Sisil, kakak iparnya, memutar kepala untuk melihat muka Saura, "kayaknya jadi, nih, sama yang ini, Ra." kata Sisil, menggoda adik iparnya. "Kak Sil siapin baju bridesmaid deh, ya, Ra."

"Nah, iya, itu, Sil. Nanti baju Mama sama kamu samaan, ya, Sil." timpal Mama seraya tertawa kecil.

"Aamiin. Do'ain aja. Kan semua rencana tergantung sama yang di atas." ujar Saura.

"Aamiin, do'a Mama Insya Allah manjur buat anaknya." balas Mama, "yang penting dari kakaknya dulu bagaimana sama yang ini."

Saura terdiam. Kalimat terakhir Mama benar-benar membisukannya. Pertanyaan 'bagaimana' yang bahkan masih Saura cari keberadaan jawabannya sampai saat ini. Entah itu 'bagaimana perasaannya untuk Harsya', 'bagaimana kedekatan mereka', atau 'bagaimana supaya sama yang ini berhasil'. Jujur, Saura masih bingung dan linglung. Tak dipungkiri juga sebenarnya bahwa Saura dan Harsya masih dikatakan baru saja berkenalan. Soal perasaan dan jatuh cinta, bukannya masih panjang dan memerlukan waktu?

Saura tidak ingin merealisasikan perkataan Kak Alden waktu itu. Di mana Kakaknya tersebut berbicara soal mencintai setelah menikah dan blablabla. Saura tidak menginginkan itu. Baginya, cinta itu sakral adanya.

Mencintai itu satu hal yang sakral wujudnya.

"Saran Mama, Kak, saran aja, sih... udah kalau Harsya sewaktu-waktu melamar kamu dan serius, nggak apa-apa terima aja. Soal kenalan, Kakak bisa kenalan sambil berjalan. Mama merasa yakin sama yang ini." ujar Mama terlampau bahagia dengan seseorang yang tengah mendekati anaknya itu, "Mama punya penilaian sendiri, Kak. Dengan cara Harsya yang bahkan berani menghadap Mama sama Papa aja tadi walaupun baru ketemu udah nilai plus bagi Mama. Mama percaya kalo Harsya bisa jaga kamu."

"Iya, Ma..."

"Gih, ntar malem sholat di sepertiga malam. Minta petunjuk Allah." suruh Mama.

"Iya, Ma..." Saura membalas dengan suara pasrah, "btw, Kak Alden, Kakak 'kan lebih kenal sama Mas Harsya, menurut Kak Alden sendiri gimana orangnya?"

Terlalu Siang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang