28. Prejudice

162 15 0
                                    

"Hmm Ra, yang bener dong pijitinnya! Lu mah mijit kek nyubit." protes Inka yang kini sedang tengkurap ria.

Saura yang disuruh Inka memijat punggung wanita itupun berdecak malas. Bukannya memijit dengan benar sesuai permintaan Inka, Saura malah meremas punggung Inka sampai yang punya punggung menjerit. Saura tertawa-tawa setelah berhasil membuat Inka kesal.

"Ck! Yang bener Sora!"

"Gue mana bakat yang beginian, Mbak!"

"Ya, belajar, dong, perawan! Ntar 'kan Ethan pulang lu dilamar ama dia." goda Inka pada Saura.

"Ngawuuur!" Saura geram dan tidak segan-segan memiting kepala Inka. "Nih, Mbak, rasain pitingan gue!"

"Woi! Tolong! Bryan! Tolong, Bryan!"

Mereka berdua tertawa-tawa atas drama yang mereka buat. Ruang kantor tampak sepi di jam 12 siang ini. Beberapa lelaki yang beragama islam melaksanakan sholat Jum'at, sedangkan yang lainnya lagi memilih untuk makan siang. Sementara Saura dan Inka? Mereka sudah makan dari jam 11.45 tadi. Mengambil start dari pekerja lainnya.

Di ruangannya ada sebuah sofa besar, jadilah Saura maupun Inka duduk-duduk di sana sambil goleran. Merebahkan diri dari lelah duduk setengah hari.

"Eh, Si Idan sholat di SMB, ya, dia?" gumam Inka pelan. Badannya dibuat miring menatap Saura dengan kepala yang ditumpu oleh tangan.

"Iya, kali, Mbak."

"Nitip jajanan, Ra, ke dia. Beli apa kek yang seger-seger." kata Inka, lalu meraih hapenya untuk memberikan pesan whatsapp untuk Hildan, "beli itu, Ra, kopi janji jiwa."

"Mau, dong!" seru Saura senang, "yang rasa kopi susu, deh, Mbak."

"Oke, gue bilang dia."

"Eh, Mbak-Mbak," panggil Saura yang hanya dibalas dehaman singkat dari Inka yang fokus pada hapenya. "Minggu ada acara, nggak? Ikut gue, yuk, ke cibiuk Karawang. Makan-makan keluarga."

"Yah, ada lagi, Ra. Sepupu gue nikah." jawab Inka, "besok aja hari Sabtu gue udah disuruh bantu-bantu."

Saura mengangguk paham dan mengerti tolakan dari Inka. Soal Hildan yang disarankan Mama untuk diajak, apakah ia ajak juga walau Inka tidak ikut?

Aha!

Satu-satunya solusi adalah bercerita pada Inka.

"Mbak,"

"Oi?"

"Gue mau cerita, tapi keep in aja, ya, di antara kita."

Inka terkekeh dan akhirnya duduk untuk mendengar cerita Saura, "cerita apaan?"

"Jadi gini, Mama gue, tuh, yang suruh gue ajak lo, Mbak. Biar rame katanya." Saura menjeda ucapannya, "tapi Mama juga suruh ngajak Hildan. Tapi lo-nya nggak bisa ikut, gue yang nggak enak ajak dia kalo sendirian. Gue bingung banget."

"Ya ajak aja, lah. Lagian bingung kenapa, dah?"

Saura menipiskan bibirnya sembari berpikir. Iya juga, ya? Apa yang ia bingungkan dari mengajak Hildan makan-makan bersama keluarganya?

"Ck! tau, deh." Saura berdecak, "kalo dia nolak gimana?"

"Et dasar gendeng! Lu, nih, ya, umur doang 30 taun tapi masih kayak bocah SMP. Begini, Ra, lu udah ajak dia belom pertanyaan gue?"

Saura menggeleng polos.

"Nah, biar tau jawabannya, tanya dah tuh ama bocah satu itu. Mau kagak dia ikut lu ke Karawang."

Bukannya menelaah, Saura menggaruk-garuk kepalanya. Makin bingung dengan sarannya Inka.

"Lu ngapa, sih?" decak Inka. "Bingung banget romannya!"

Terlalu Siang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang