30. I Never Regret to Loving You

176 15 0
                                    

"ANJIR."

Saura memejamkan matanya begitu percikan air tersembur ke wajah Saura ketika Inka berteriak masih dalam keadaan mulut penuh dengan es teh. Saura berdecak. Hobi sekali orang-orang menyembur wajahnya dengan air. Dulu ada Ethan yang pernah melakukan ini. Sekarang ada Inka yang melakukan hal yang sama.

"Mbak, muncrat!" seru Saura menahan kesal.

Inka menyengir dan sontak mengambil tisu untuk mengelap meja serta wajah Saura.

"Ya, maap. Elu, sih, Ra!" Inka malah menyalahkan Saura.

Bukan tanpa alasan Inka tiba-tiba menyembur es teh. Pasalnya, Saura habis bercerita tentang Hildan yang menyatakan cintanya secara langsung 3 hari yang lalu. Betul, 3 hari yang lalu!

Saura baru cerita sekarang kepada Inka secara langsung karena Saura izin work from home ke bosnya selama 2 hari setelah hari itu—alasannya karena tidak enak badan. Kemudian, sehari setelahnya Saura datang ke kantor dalam keadaan baik-baik saja dan seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Interaksinya dengan Hildan pun tidak terlalu banyak karena kemarin Saura diminta Bryan (bosnya) untuk membantunya membuatkan surat kuasa di ruangan lain.

Situasi awkward tentunya dirasakan oleh mereka.

Saura jelas menghindari Hildan. Dari bersitatap bahkan mengobrol sekalipun. Saura menghindari cowok itu.

Inka mendelikkan mata, "pantesan kemaren lu kagak masuk kerja gara-gara ini, ya?" duganya tepat sasaran. Wanita itu memicingkan mata kemudian menyuap kembali nasi bebeknya.

"Salah satunya, sih, itu. Tapi beneran nggak enak badan, kok, sedikit. Demam." ungkapnya, "kalo nggak percaya, tanya emak gue aja."

"Ah, elu! Dibilang gitu doang langsung meriang segala. Gimana kalo Idan langsung ngajak nikah coba? Dirawat lu!" goda Inka tidak tanggung-tanggung.

"Ah elu, Mbak! Idem, nih, gue!"

"Terus lu gimana, responsnya?"

"Waktu dia abis bilang gitu, gue lanjut jalan ama keluarga gue. Pokoknya gue ninggalin dia dalam kegamangan, deh. Gue langsung cabut dari cibiuk." cerita Saura, "gue—syok! Walaupun udah ngira-ngira ini bakal terjadi."

"Parah lu, Ra. Brondong segemas itu menunggu kakak-kakak-annya membalas perasaan cintanya." Inka membalasnya disertai gelak tawa. Membayangkan wajah Hildan yang sedih karena cintanya digantung oleh Saura.

"Dih, apasih, Mbak!" kilah Saura dan kembali menyuap nasinya dengan muka mengkerut.

"Gue akui, sih, keberaniannya. Keren amat, dah, melamar Saura yang aslinya masih menunggu kepastian masa lalunya."

Saura memutar bola matanya, "Ethan bukan masa lalu, Mbak!"

"Iya, deh. Masa depan yang nggak pasti maksud lu?"

Saura memberengut dan mengangkat bahunya. Masa depan yang tidak pasti, sakit rasanya kalau memang itu jadi kenyataan. Sial sekali jika memang Ethan hanya akan menjadi masa lalunya dibanding masa depannya. Saura sudah kepalang berharap pada sesuatu yang tidak pasti. Sial-nya adalah ketika Saura semakin sadar bahwa yang ia harapkan adalah Ethan selalu bersamanya.

Boleh tidak, sih, Saura egois untuk yang satu ini?

Saura ingin selalu membersamai Ethan, tidak peduli bahwa ada tiang paling tinggi di antara mereka. Tidak masalah baginya bahwa tidak ada perasaan cinta  yang tumbuh. Saura hanya ingin Ethan selalu bersamanya, dalam keadaan apapun.

Sadar kalau keinginannya hanya sebuah angan, Saura kembali pada kenyataan. Egois bukan satu-satunya cara untuk bahagia.

"Terus, lu bakal gimana, Ra?"

Terlalu Siang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang