24. He's Gone

169 17 0
                                    

2 hari adalah waktu yang cukup bagi Saura untuk mendekam di kamar. Mengurung dirinya tanpa keluar kamar sekalipun. Mengunci pintu dan enggan bertemu dengan orang-orang rumah. Dari kemarin mereka sebenarnya mengetuk-ngetuk pintu kamar tanpa henti. Memanggil-manggil namanya supaya ia mau keluar kamar. Mereka khawatir jikalau Saura nekat melakukan sesuatu yang tidak diinginkan.

Seperti sekarang ini.

Semua anggota keluarganya lagi-lagi mengetuk-ngetuk pintu dengan keras sembari meneriaki namanya. Saura sesekali menyahut agar mereka berhenti mengetuk pintu. Terdengar mengganggu sekali.

Hapenya ia buat mati total. Ia benaran ingin menghilang dari dunia untuk sementara sampai masalah yang tengah dihadapinya selesai.

Kini, ia hanya menatap kaca dengan tatapan nanar. Wajahnya tampak kacau—matanya agak bengkak dan bibirnya sangat pucat. Selain tidak sedang memakai pewarna bibir, Saura memang menunjukkan raut yang tidak baik-baik saja.

Sejak kejadian itu, ia selalu menangis kala mengingat momen menyakitkan yang lagi-lagi menghampiri kehidupannya. Bagaimana kebohongan selalu ia dapatkan sebagai tuai dari kesalahan yang pernah ditanam. Padahal Saura juga tidak pernah berbuat kesalahan pada orang lain sehingga jenis karma seperti ini yang ia terima.

Kalaupun ia pernah berbuat salah, ia hanya berdo'a semoga Tuhan cepat sampaikan kesalahan di masa lalunya agar ia bisa bertekuk lutut pada orang-orang yang dirugikan olehnya.

"Kak...buka pintunya. Jangan kasih hukuman ke Mama dengan cara begini, Kak." ucap Mama dengan tangis yang tersedu-sedu.

"Kak, keluar, Kak. Kakak belum makan.." Jiel ikut menyahut sambil mengetuk pintu.

"Ya Allah Saura, jangan kayak gini sayang. Ayo, keluar kamar." ujar Shila, kakak iparnya.

Dada Saura semakin sesak mendengar itu. Anggaplah ia benci dipandang memprihatinkan seperti ini. Semakin merasa bahwa ia betulan manusia lemah. Saura benci itu. Saat ia melihat kaca, benar saja yang dilihat hanya seonggok manusia payah yang selalu gagal dalam percintaan.

Dengan emosi yang meledak, tangan kanan Saura meninju kaca lemari sampai benar-benar pecah dan membuat tangannya penuh dengan aliran darah.

Langkahnya dengan cepat menuju pintu dan membuka pintu. Mama dan yang lainnya berada di pintu dan mengucap syukur bahwa Saura masih hidup setelah lama mengurung diri di kamar.

"Ya Allah, Kak. Tangan Kakak." gumam Aliyah ketika melihat tangan Saura penuh dengan darah.

Saura tidak memedulikan orang-orang itu dan berangsur pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Mereka semua mengekori Saura sampai dapur seraya menangisi keadaan gadis itu.

Saura lagi tidak minat bicara. Jadi yang ia lakukan hanya mengabaikan mereka dan meminum air sebanyak-banyaknya.

"Kak! Mama harus apa supaya kamu nggak begini?" Mama terisak. Kuasanya wanita itu memeluk tubuh sang anak. Saura bahkan tidak memeluk balik Mamanya dan terus-terusan meneguk air minumnya. "Maafin Mama, Kak. Mama minta maaf."

"Kak, jangan buat kami khawatir. Kita sayang sama Kakak!" kata Jiel sembari mengusap kepala kakaknya.

"Papa mana?" tanya Saura, tak menggubris ucapan Mama ataupun Jiel tadi.

"Papa ada di ruang tamu, Kak. Ada—" Aliyah menggantungkan ucapannya.

"Ada siapa?" tanya Saura dingin.

Aliyah mengatupkan bibirnya, "ada Kak Harsya."

Saat itu, Saura kalap. Ia langsung bergegas ke ruang tamu untuk menghampiri Papa dan tamu agungnya tersebut. Tamu yang ternyata datang untuk menghancurkan dirinya dan mematahkan kepercayaan keluarganya.

Terlalu Siang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang