29. Hildan's Confession

161 15 1
                                    

"Kakak udah booking belom?" tanya Jiel yang sedang fokus memakirkan mobil di parkiran cibiuk Karawang. Mereka telah sampai di sana setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam setengah lewat jalan tol. "Rame banget, nih."

"Udah, Aliyah udah dateng juga. Dia duluan 'kan sama Farza," balas Saura dengan malas, gadis itu sibuk dengan ponselnya. Membuka laman instagram dan meng-scroll reels.

"Oh iya, temen Kakak udah diajak belom? Jadi ikut?" tanya Mama sambil melirik anaknya yang bersandar di pintu. Mereka berdua duduk di kursi belakang sedang kursi depan diisi oleh Jiel dan Papa.

"Mbak Inka ada acara, jadi nggak bisa ikut."

"Oh," Mama membulatkan mulutnya, "kalo Hildan?"

Nah, kan. Dasar emak-emak. Ingat aja sama yang begini. Saura melirik Mamanya dan menggeleng.

"Ada acara juga." jawabnya singkat.

"Oh gitu," Mama mengangguk kecil. "Sholeh, ya, Kak, anaknya." goda Mama untuk yang kesekian kalinya membuat Saura berdecak malas.

Mamanya sepertinya memang hobi mengkompori dirinya. Padahal sudah gadis itu peringatkan berkali-kali bahwa Mama dilarang ribut lagi soal jodohnya Saura. Terkecuali jika Sauranya sendiri yang memulai. Oh iya, soal prinsip yang ia ungkapkan kepada Inka tempo hari juga asal bunyi saja sebenarnya. Kalaupun iya-ah, tidak mungkin. Iya yakin, Ethan akan kembali dalam waktu dekat.

Hatinya selalu mengatakan bahwa Ethan tidak pernah jauh dari jangkauannya. Mungkin benar pria itu pergi ke Jogja, tapi bukan dalam waktu yang lama. Saura merasa Ethan hanya pergi sebentar, lalu balik ke Bekasi lagi tanpa mengabari Saura. Hatinya selalu merasa yakin bahwa Jan Ethan Mahadana berada di dekatnya.

Itu sebabnya Saura masih tetap pada hatinya. Menunggu Ethan kembali lagi. Entah dalam keadaan atau situasi apapun Ethan kembali nanti, yang jelas Saura hanya ingin Ethan menerima maafnya.

"Kak? Ayo turun," titah Mama, membuat lamunan Saura buyar. Gadis itu turun dari mobil bersama Mama Papa dan Jiel. Saura memeneli Mamanya untuk jalan beriringan.

"Ma, rumah Omnya Ethan ada di Karawang. Aku pernah diajak ke rumahnya. Menurut Mama, kalo aku tanya Omnya Ethan-Ethan lagi di mana, bagaimana?" tanya Saura ragu, "menurut Mama etis nggak nanya ke Omnya Ethan?"

"Ya, tanya aja selagi kamu kenal sama Omnya, mah." balas Mama.

Saura terdiam. Niatnya masih ragu untuk menanyakan keberadaan Ethan ke Om Keenan. Soalnya Saura sedikit malu karena kedatangannya bukan untuk mengundang keluarga Ethan ke pernikahannya mengingat waktu itu Saura pernah bercerita akan menikah dalam waktu dekat. Naasnya, pernikahannya gagal dan tidak jadi kenyataan.

"Eh tapi nggak jadi, deh, Ma."

"Kenapa?"

"Nggak enak. Waktu itu aku cerita bakal nikah dalam waktu dekat, eh ternyata nggak jadi. Malu." Saura terbahak-bahak, "mana udah janji kalo hajatan ngundang-ngundang."

Mama tergelak sebagai responsnya, lalu mengelus kepala sang anak, "ya udah, nggak usah. Bukan salah kamu juga. Kita 'kan nggak tau." katanya untuk menenangkan Saura

Saura meringis dan mengangguk kecil. Dalam beberapa langkah lagi, setelah belok kiri dari pintu masuk restoran, mereka pun sampai di tempat duduknya. Saura berpesan pada Aliyah yang datang duluan untuk mencari tempat duduk lesehan. Dari kejauhan, tampak Aliyah dan Farza yang sudah duduk berdua di meja sudut. Kebetulan di restoran ini, lesehan yang dipilih berada di atas air. Meja lainnya sudah dipenuhi oleh pelanggan lain.

"Tuh, Aliyah." gumam Saura pada Mama yang ada di sampingnya.

Mama mengangguk dan berjalan lebih dulu menuju meja.

Terlalu Siang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang