Ryujin mendengus sebal untuk kesekian kalinya. Tangannya yang semula bertengger manis di atas mesin pembuat kopi, kini mulai terlipat di depan dada. Ia memutar tubuhnya ke samping, menghadap ke arah laki-laki yang sedari tadi menatapnya tanpa henti. Laki-laki itu mengikutinya sampai ke dapur kantor dan mengamati segala gerak-geriknya tanpa berbicara sepatah katapun.
"Berhenti mengikutiku seperti anak anjing," tegur Ryujin dengan tatapan tajamnya. Hyunjin mendengus tawa mendengar ucapan Ryujin.
"Anak anjing masih lebih baik daripada seorang stalker," balas Hyunjin. Ekspresi wajahnya terlihat begitu menyebalkan di mata Ryujin.
"Aku serius. Berhenti mengikutiku dan kembalilah bekerja." Kali ini Ryujin menambahkan sedikit penekanan dalam kalimatnya untuk menunjukkan keseriusannya. Selain perilakunya, Ryujin juga risih dengan tatapan Hyunjin yang menatapnya begitu dalam. Ryujin tidak mengerti mengapa Hyunjin menatapnya seperti itu, bahkan di saat mereka hanya berdua saja seperti ini.
"Kamu nggak sadar kalau mereka berhenti mengganggumu karena aku terus mengikutimu seperti anak anjing?" Hyunjin meletakkan cangkir kosongnya di samping mesin pembuat kopi lalu ikut melipat tangannya di depan dada – tidak terpengaruh oleh usiran yang dilontarkan oleh Ryujin.
Ryujin bukannya tidak menyadari hal itu. Ia sangat menyadarinya dan tidak ingin terus menerus bergantung pada hal itu. Dahulu orang-orang segan padanya karena prestasinya, namun sekarang mereka lebih segan karena kehadiran Hyunjin di sampingnya – bukan lagi karena prestasinya di kantor. Ryujin tidak ingin hal seperti itu terus berlanjut.
"Aku tahu." Ryujin kembali fokus pada cangkir kopinya yang telah terisi penuh. Ia melirik cangkir Hyunjin yang kosong dan memutuskan untuk mengisinya juga. "Tapi kantor bukan tempat untuk berkencan."
"Ah...jadi kamu ingin kencan?" Hyunjin tersenyum menyeringai.
"Nggak, bukan itu maksudku – "
"Tapi kamu benar. Kita belum berkencan sejak pulang dari Jeju." Hyunjin memutar tubuhnya sehingga punggungnya dapat bersandar pada pantry dapur. "Bagaimana kalau malam ini? Aku akan pesan tempat di restaurant Jepang langgananku. Aku yakin kamu pasti suka sama makanannya."
"Lupakan." Ryujin menyambar cangkir kopinya dengan kasar lalu pergi ke arah pintu dapur. Kesabarannya sudah habis. Ia tidak sanggup lagi menghadapi sikap kekanak-kanakan Hyunjin yang tidak pernah menganggap serius ucapannya.
"Aku capek sama kamu." Ryujin keluar dari ruangan itu setelah berkata demikian. Ia tidak repot-repot menoleh ke belakang untuk melihat bagaimana ekspresi wajah Hyunjin atau apakah laki-laki itu berniat untuk mengejarnya. Ia sudah tidak peduli sama sekali.
"Hubungi aku jika kamu setuju," teriak Hyunjin dari tempatnya. Ia yakin Ryujin masih mendengar suaranya meskipun perempuan itu sudah berlalu pergi dari hadapannya.
Hyunjin menyambar cangkir kopinya yang telah terisi penuh lalu mematikan mesin kopi yang ada di hadapannya. Ia menghirup aroma kopinya dalam-dalam. Senyum di wajahnya semakin melebar mengingat sikap kesal Ryujin sebelum ia pergi dari ruangan itu. Menggoda Ryujin sudah menjadi salah satu kegemarannya karena ia senang melihat reaksi Ryujin yang seperti tadi – kesal tapi malu-malu.
"Bagaimana kalau aku saja yang datang nanti malam?" Suara tak diundang itu sukses mengalihkan perhatian Hyunjin. Ia menoleh ke arah pintu dapur yang terbuka, memperlihatkan sosok Jimin yang tersenyum seduktif ke arahnya. Jimin berjalan ke tempat Hyunjin berada tanpa menurunkan senyumannya sedikitpun.
"Aku jauh lebih baik daripada Ryujin," tambahnya.
Hyunjin mendengus tawa mendengar ucapan Jimin. "Apa kamu menggoda Pak Lee dengan cara yang sama seperti ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Contract
FanfictionSetelah menjalin hubungan selama 5 tahun, Shin Ryujin akhirnya dikhianati oleh pacar dan sahabatnya sendiri yang diam-diam menjalin hubungan di belakangnya. Merasa putus asa, Ryujin menerima tawaran dari atasannya untuk menjalin hubungan pura-pura...