***
“Umi! Ini ditaruh mana?” setengah teriak, Kobe Bangun Kusumo bertanya sambil menenteng dua sak karung berisikan masing-masing jagung dan kelapa berukuran besar.
“Taruh ndek teras ngarep ae, Be. Mengko aku seng ngurus.” (Letakkan di teras depan saja, Be. Nanti aku yang ngurus.) Nurul Fauziah menyahut dari arah ruang tamu sambil menghembuskan asap rokok kretek.
“Habis gini aku disuruh apalagi, Umi?” Kobe bertanya lagi sembari berjalan masuk ke dalam rumah.
Pemuda rupawan yang kulitnya gosong terpapar sinar ultraviolet itu terperanjat saat mendapati Neneknya yang hanya menggenakan kutang putih khas orang desa. Sedang bawahan sang Nenek hanya menggenakan kain jarik sebatas pusar.
Kobe heran. Bagaimana bisa orang-orang di desa ini, terutama para lelaki, menahan godaan terindah yang tak pernah ditemui di sudut kota mana pun?
Apa orang-orang di desa ini tidak memiliki nafsu kepada lawan jenis?
Apa wanita di desa ini saking bebasnya berpakaian, sampai menghiraukan ada Kobe yang mengalami fase keingintahuan lebih akan seluk beluk tubuh wanita?
Semakin heran, tatkala Kobe duduk berseberangan dengan Neneknya, di mana tanpa sungkan sang Nenek meloloskan kutang hingga menyembulkan dua payudara yang sebesar gaban.
Walau dua bulatan itu mengendur, tak menyurutkan mata dan nafsu Kobe. Dipandanginya terus menerus, hingga tanpa sadar batang kejantanan Kobe mengeras tanpa bisa ditahan.
“Rene, Be. Mentil disek. Awakmu pasti ngelak.” (Sini, Be. Netek dulu. Kamu pasti haus.) Fauziah menepuk-nepuk kursi panjang di sebelah kiri, mengkode sang cucu agar mendekat.
Kobe berdiri. Berjalan menyamping memutari meja kayu untuk mengambil tempat duduk yang ditunjuk oleh Neneknya.
Dengan langkah kaku, berikut badan menggigil panas dingin, Kobe menatap lekar wajah sang Nenek. Ditatapnya tepat pada kedua mata yang mulai layu. Begitu mempesona. Terlebih wajahnya yang manis campur genit-genit manja suka membuat cenat-cenut.
Andai Kobe orang lain, ia takkan menyangka jika wanita tua di sebelahnya ini umurnya tiga kali lebih tua dari Kobe. Itu terbukti pada wajah Neneknya yang jauh dari keriput. Mulus halus seperti jalan aspal. Begitu pula rambut hitam sang Nenek yang sama sekali tak memutih, masih tetap hitam, panjang, lurus, dan berbau khas wanita desa. Sungguh menggugah gairah. Kobe sampai meneguk ludah menghadapi pesona Neneknya yang memiliki aura luar biasa menggetarkan iman.
Nakal, genit, cuek, dan sompral.
Gambaran Fauziah yang sudah memiliki empat orang anak dan sembilan cucu. Dan di ruang tamu ini, cucu tertua yang tak lain adalah Kobe sendiri, dimanjakan dengan segenap jiwa dan raga.
“Nanti lek capeknya sudah hilang, langsung ae lebokno manukmu nang njero apemku, yo?” (Nanti kalau capeknya sudah hilang, langsung aja masukkan burungmu ke kemaluanku, ya?) ujar Fauziah lembut, penuh kasih sayang, dan gila.
“Kalau Kakek lihat gimana, Umi?” Kobe bertanya takut-takut, mengingat sang Kakek yang tengah stroke duduk di atas ranjang menghadap tepat ke arah ruang tamu.
“Orang itu?” Fauziah menoleh kepada suaminya, mengulas senyum manis terkesan menggoda. “Emang orang stroke bisa apa?”
“Lah? Umi mau kita main di sini? Di depan Kakek?!”
“Main opo? Aku ero'e kenthu. Wes gek ndang, sat-set. Ojok kakean omong. Tempekku wes cenat-cenut kepingin diobok-obok pentunganmu seng gede ndelondeng iku, lho, Be.” (Main apa? Aku tahunya ngentot. Sudah buruan, sat-set. Jangan banyak bicara. Memekku sudah cenut-cenut kepingin diaduk-aduk kontolmu yang besar luar biasa itu, lho, Be.) Ucapan yang terlontar dari bibir tebal Fauziah ini, menjadi titik balik peningkatan drastis pada karakternya yang penuh kejutan.
NENEK GILA!
KAMU SEDANG MEMBACA
Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]
Fantasy*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN SEDIKIT SARKAS. DIMOHON DENGAN BIJAK PARA PEMBACA UNTUK MEMILIH BACAAN. TERIMA KASIH. *** Sinopsis Karena sebuah alasan, Kobe te...