8

16.2K 84 3
                                    

***

Desa Gentengan. Asri dan klasik. Punya segala tampilan khas pedesaan yang elok dipandang. Sore yang menyejukkan setelah pagi tadi diguyur hujan lebat. Tanah di halaman sebuah rumah masih basah. Masih penuh genangan air di sana-sini yang di atasnya mengambang sandal-sandal tersesat. Sisa air hujan semalam suntuk masih mengucur lancar di pinggiran genting dan menciprat ke teras depan.

Namun, benar kata sebagian orang kota yang sekadar mampir. Desa Gentengan selalu bersih. Tidak nampak sampah apa pun berlayar di parit mau pun genangan air. Kebersihan adalah salah satu prioritas. Menjadi ciri desa yang syarat akan kebersamaan gotong royong antar warga. Kata Nenek, desa ini belum pernah terjadi yang namanya banjir. Pun sungai dengan arus deras selalu cepat surut. Ini semua berkat program baru yang diusung oleh kepala desa yang baru. Penuh dedikasi dan sedikit ambisi, menjadikan Desa Gentengan ramah ditinggali. Sekalipun para napi.

Membonceng Nenek di belakang yang duduk miring dengan tangan kanan melingkar di perutku, aku tengah memacu motor RX King tua milik Kakek yang menganggur di samping rumah. Membelah jalan menuju rumah Adam dengan Nenek sebagai navigasi.

Dari keluar rumah sampai sudah berkendara, Nenek tak berhenti berceloteh. Dengan payudaranya yang terasa empuk menempel di punggungku, Nenek banyak bercerita soal dirinya yang sudah lama tak dibonceng lelaki. Terakhir kali ia duduk di jok belakang bersama lelaki ya sama Kakek. Itu pun hampir 5 tahun lalu. Atau lebih.

Menggunakan setelan santai, aku mengamati aktifitas warga di sore hari yang cukup istimewa. Dari perempuan-perempuan desa berkulit kecokelatan yang malang melintang dengan segala macam kesibukan masing-masing.

Di atas motor, aku menyorot keadaan normal pedesaan. Dimulai dari rumah sederhana dengan halaman kecil, sepasang suami istri tengah bersendau gurau di pojok pagar bambu. Ada wanita dewasa sedang menenteng bak cucian. Rambut basah terurai, dengan kain jarik membalut tubuhnya, menyisakan pundak-pundak melengkung indah yang memanjakan mata. Pun ada yang setengah baya tengah menyapu halaman penuh rerumputan hijau, berikut menggiring ayam-ayam masuk ke dalam kandang.

Hingga beberapa saat lamanya berkendara, aku melewati sebuah jembatan. Di sebelah kiri berdiri sebuah rumah pondokan sederhana yang di depannya bertuliskan spanduk pada bagian atas pintu rumah tersebut: Warung Makan Seger Waras. Di jalur yang sama, ada satu rumah klasik lainnya dengan arsitektur bergaya rumah joglo.

Hanya sebentar kekaguman melihat rumah-rumah yang dibangun di desa ini, pandanganku terpatri pada sosok wanita paruh baya berparas ayu khas desa tengah menyapu halaman.

Mesin motor kumatikan. Nenek turun terlebih dahulu. Melenggang meninggalkanku. Tidak ke arah warung yang masih buka, tetapi ke arah samping rumah yang tengah berdiri seorang pemuda mengobrol bersama seorang pria paruh baya.

Aku ikut turun sembari menebar peluh keringat menetes ke tanah basah. Sedikit grogi ketika langkahku mulai melambat. Dan ... berhenti.

Iya, berhenti. Mengapa? Itu karena, di depan warung makan tersebut, ada seorang wanita deeasa dengan lesung menghias indah pipi tembemnya. Jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat. Sejenak, aku melupakan ke mana Nenek pergi. Sekarang ini, fokusku hanya satu.

"Mas." Wanita paruh baya itu menghentikan aktifitas menyapu. Ia yang pertama menegur. Suaranya yang merdu, serta caranya menatap begitu menghanyutkan. Sorot mata seorang wanita matang yang memiliki bodi aduhai atas sampai bawah dalam balutan pakaian kaus merah ketat menonjolkan buah dada, dan bawahan menggenakan celana legging hitam mempertontonkan lekuk pinggul, paha, hingga pantatnya yang padat nan montok.

"Permisi, ya, Bu." Aku mengangguk sesopan mungkin.

"Warungnya mau tutup, Mas. Tapi kalau Masnya mau makan, saya buatin." Si wanita paruh baya bertutur kata lembut. Ada kilatan genit di matanya yang menatapku lekat.

Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang