18

8.4K 41 1
                                    

***

Di atas tikar yang digelar di bawah pohon kelapa belakang rumah, ada jamuan sederhana sarapan berisikan nasi putih panas, sayur asem, ikan asin, dan sambal terasi sudah menjadi kenikmatan hakiki sesuai vibes pedesaan yang asri tanpa cemar polusi. Aroma sejuk nan damai menjadi ketenangan tersendiri bagiku yang tengah melahap habis hidangan yang telah Nenek masak beberapa jam yang lalu.

Baik aku mau pun Nenek makan seperti orang yang telah menjalani puasa mutih berbulan-bulan. Apa pun yang ada di depan mata kami sikat tanpa sisa.

Porsi nasi dobel telah tandas masuk ke dalam perutku. Sementara Nenek hanya makan satu porsi, tapi lauknya sampai menutupi nasi. Dasar rakus. Eh, aku juga sama, sih.

Glek! Glek! Glek!

Air segar dari dalam kendi kutenggak setengahnya tanpa bantuan gelas. Sebagian air meluber dari sudut bibirku membasahi dagu dan leher. Puas.

Kuletakkan kendi yang masih ada sisa air di tengah. Yang kemudian, setelah Nenek menuntaskan sarapannya, ia menyambarnya, lalu meneguk sampai habis.

Kurang rasanya jikalau sehabis sarapan tidak disambung dengan merokok. Yang pertama membakar rokok adalah aku. Lantas Nenek ikut mengambil rokok beserta koreknya. Entah disengaja atau tidak, rokok itu terbalik.

Segera aku benarkan letak filter di bibir Nenek, lalu aku nyalakan korek gas. Berlagak layaknya mafia, Nenek mengebulkan asap rokok dengan kaki kanan diangkat untuk menjadi tumpuan tangannya yang memegang rokok yang membara.

Kemudian, aku bangkit berdiri. Membuatkan kopi untuk kami berdua sebagai teman mengobrol.

Obrolan pertama yang kami bicarakan perihal kepergianku kemarin bersama Tante Ima. Semuanya aku ceritakan kepada Nenek dari awal aku hampir ditabrak emak-emak di jalan, sampai paha Tante Ima yang ketempelan lintah.

Nenek terbahak-bahak mendengarnya. Tawanya sangat puas saat mengetahui anak bungsunya mengalami nasib sial. Lebih sialnya lagi, si pendekar wanita itu kubuat kentang karena aku tak menjamah tubuhnya hingga berakhir tamparan kerasnya mendarat di pipiku.

"Buahahahaha! Pasti si Ima setelah kamu pulang langsung colmek, Be." Tawa Nenek tak kunjung berhenti sambil mulutnya secara perlahan keluar asap rokok.

"Nggak tahu. Kayaknya sih iya," balasku, sekadarnya.

"Tapi aku bingung sama kamu, Be. Kenapa ndak kamu sikat aja Tantemu itu? Toh, aku juga ndak bakal tahu."

"Itu dia masalahnya, Nek. Sebenernya aku ngaceng sih, cuma hati kecilku mengatakan kalau aku nggak boleh melakukannya."

"Kamu ini jujur banget jadi laki-laki, Be. Polosmu itu lho bikin aku gemes."

"Ya gimana, aku sudah kadung kesengsem sama Nenek. Rasanya burungku lebih nyaman masuk ke tempeknya Nenek."

"Ah, saru. Kok malah bahas tempekku, seh, Be? Aku kan udah tua. Emangnya seenak itu?" kicau Nenek, dengan bibir menahan senyum atas pengakuanku.

Rokok aku hisap, kopi aku seruput, sebelum menjawab, "Mau sampai kapan Nenek rendah diri mengatakan Nenek sudah tua? Di mataku, Nenek itu umurnya aja yang tua, tapi badan Nenek montok dan ngacengin. Apalagi susu sama tempeknya nggak ada lawan."

"Bukan gitu, Be. Tuh kamu masih manggil aku 'nenek'. Berarti kamu menggangap aku tua, tho?" Nenek masih ngeyel.

"Haduh! Pas ngobrol gini aku kayak sungkan gitu manggil sampeyan langsung nama. Kurang enak didengar aja."

"Ehm ... gimana kalau manggil aku kayak Tantemu manggil aku biasanya?" usul Nenek, dengan mata berbinar penuh harap. Lalu, ia menghisap rokok dalam-dalam, lantas menghembuskannya ke samping.

Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang