23

9.4K 48 1
                                    

***

Tik, tik, tik!

Bunyi hujan di atas genteng. Rintik gerimis tipis di pagi hari berawan abu-abu. Menambah kesan romantis kelimis keintiman sepasang musang dilanda birahi. Adalah aku yang saat ini memandang keindahan ciptaan Sang Pencipta. Sosok berparas cantik dengan tahu lalat di bawah bibir. Pancaran inner beauty kian menyala meski usianya mendekati kepala empat. Ditunjang lekuk tubuh aduhai serta onderdil memanjakan mata, bisa dibilang Bu Rini berada di puncak kematangan seorang wanita.

Maharini Dera Widyawati.

Rangkaian indah sebuah nama sosok wanita beranak dua yang sempat aku eja beberapa waktu yang lalu kala mataku memandang satu dari lima pigura foto di ruang tamu dengan Bu Rini kecil saat wisuda kelulusan SMP.

Entah mengapa, saat lamunanku masih terpaku di wajah Bu Rini, sekilas aku merasakan percikan perasaan aneh yang semakin kutahan, semakin kuat pula menggedor benteng berlapiskan baja yang susah payah kubangun hanya untuk ditinggali oleh aku dan Nenek. Perasaan aneh ini memaksa hatiku untuk bercabang.

Ah, mencintai dua orang sekaligus ... apa itu mungkin?

Lantas, Tante Ima, si jawara betina suka baku hantam itu bagaimana? Cuk, kalau itu biar aku pasrahkan saja sama si Palu Gatot. Pasti primata kesayanganku itu takkan protes. Lebih-lebih ia tipikal primata rakus yang setiap saat berbisik lembut untuk mencari lubang baru. Lubang lain. Lubang yang tak sepantasnya aku masuki. Lubang kenikmatan yang bukan milikku.

"Kobe ...." Bu Rini memanggil dengan suara parau. Satu tangannya tetap mengelus punggungku, sementara tangan lainnya meraih batang kontolku yang masih tegak menjulang.

"Emak cantik banget." Entah apa maksud panggilan Bu Rini, aku justru melontarkan pujian. Selain itu, aku malah tersenyum. Entah bagaimana ekspresi wajahku di mata Bu Rini, yang jelas aku semakin larut ke dalam lautan tak berpalung.

"Kobe ..." Bu Rini semakin sayu. Nafasnya tertahan. Lalu, ia menghembuskannya panjang sebelum kembali bersuara, "Aku senang kamu memujiku. Apa kamu tau kalau wanita tua ini menyimpan rasa cintanya sejak lama kepada seorang bocah tampan sepertimu?"

"Memang benar nafsu dan cinta jaraknya setipis tisu. Sehalus kapas. Aku ... aku sebenarnya nggak ingin melakukan ini. Tapi-"

"Jangan kamu teruskan, Sayang. Nikmati aja kebersamaan kita saat ini. Aku sendiri ndak tau kapan waktu terbaik kalau bukan sekarang."

"Ya. Aku paham."

Tak ingin membuang-buang waktu lagi, segera aku mencium bibir Bu Rini. Bibir, lidah, dan gigi kami saling beradu. Menciptakan suara-suara menambah nafsu.

Selanjutnya, aku dapatkan bibirku menelusuri leher jenjang Bu Rini. Tak kupedulikan tetes demi tetes keringat yang keluar dari tubuhnya. Bagiku, keringat Bu Rini memiliki bau yang khas hingga mampu membangkitkan gairah.

Jengkal demi jengkal tubuh Bu Rini aku telusuri. Aku jelajahi. Dan aku jamah tanpa satu pun terlewat. Sampai di mana badanku semakin merosot ke bawah. Tepat saat kepalaku ingin menyelinap ke area kewanitaan Bu Rini, dengan sendirinya ia merenggangkan kedua pahanya yang padat berisi. Mengangkang lebar mempersilahkan masuk tanpa paksaan.

Sorot mata Bu Rini layu. Atau mungkin sudah terlampaui pasrah. Kedua tangannya langsung mendorong kepalaku untuk segera bermain di memeknya yang ditumbuhi bulu-bulu hitam. Tak terlalu lebat memang.

Kecupan demi kecupan aku lepaskan di pangkal paha Bu Rini. Desisannya langsung terdengar. Lalu, tanganku ikut membantu bibirku untuk segera menikmati hidangan pembuka. Aku buka memeknya dengan kedua tangan.

Aku terpana. Menahan nafas. Bagaimana tidak, di sana terpampang apem tembem berwarna merah segar berhias labia minora berjengger coklat. Di atasnya menyembul klitoris sebesar jempol anak SD. Pun celah memeknya panjang dan berdenyut.

Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang