***
Biarpun terhitung nekat penuh adrenalin tingkat tinggi memadu kelamin di area pawon belakang rumah Bu Rini, aku sukses menuntaskan ronde kedua.
Entah nasibku yang sedang baik atau memang keberuntanganku yang kelewat mujur, di siang bolong begini aku dan Bu Rini merengkuh kenikmatan demi kenikmatan tanpa kendala.
Dikarenakan Bu Rini masih tergolek lemah di atas dipan kayu, berikut kedua paha mengangkang mempertontonkan memek tembemnya yang mengalir bekas spermaku dari celahnya, mau tak mau aku bersih-bersih sekali lagi di kamar mandi.
Sat-set.
Pakaian telah kukenakan. Es teh yang es batunya telah mencair aku habiskan melepas rasa haus. Sekarang saatnya untuk pulang.
"Terima kasih, ya, pacarku yang cantik." Aku mengecup kening Bu Rini lembut.
Dada Bu Rini masih kembang kempis. Ia membuka matanya berat. Ia paksa untuk menoleh menatapku. "Aku juga terima kasih sama kamu, Kobe."
"Ngomong-ngomong, Emak yakin bisa jalan sendiri?" tanyaku, sambil memindahkan kecupan di bibir wanita paruh baya rasa perawan ini.
"Menurutmu bisa jalan ndak kalau tempekku digempur sampai melar gini sama Gatot-mu itu?" Bu Rini balik bertanya. Pura-pura merajuk, tapi juga genit menggoda.
"Hahaha. Maaf, Mak. Tau sendiri kan Gatot-ku ini nggak bisa diem. Apalagi ..." aku dekatkan bibirku ke telinga Bu Rini, "tempek Emak legit banget kayak perawan."
Semburat merah di pipi Bu Rini keluar. Ia mendengus sambil menahan senyum. "Ngomong perawan kayak udah pernah nyobain yang masih gadis aja."
"Lah ini apa kalau bukan gadis." Aku meremas susu Bu Rini gemas.
"Ah, Kobe gitu!" pekik Bu Rini, manja.
"Hehehe. Ya udah, aku pulang dulu, Sayang."
"Hati-hati, ya."
Kami berciuman singkat.
Sebelum aku meninggalkan Bu Rini, aku teringat sesuatu. "Oh, iya. Jatah jagung sama kelapa buat Umi, ah, maksudku Nenek, di mana, Mak?"
"Ndak tau." Bu Rini membuang muka. Merajuk sungguhan.
Lah, kenapa pula ini wanita? Padahal sebelumnya baik-baik saja, kok sekarang malah seperti gadis ABG yang tidak dituruti beli seblak. Bajingan.
Kembali aku mendatangi Bu Rini. Berjongkok sambil mengelus perutnya. "Emak kenapa?"
"Panggil aja emak terus!" cebik Bu Rini, sewot.
Aku tepuk jidat. Ternyata hanya perkara panggilan. Pantas saja ia cemberut begini. Segera aku perbaiki sikapku, lantas tersenyum tipis. "Rini sayang."
Seketika Bu Rini menoleh. Secepat kilat air mukanya berubah cerah. Matanya berbinar penuh cinta. "Apa?"
"Rini sayang, kenthu lagi, yuk!"
"Ihhhh! Kok Rini di kenthu lagi, sih, Mas?" Bu Rini merubah gaya bicaranya. Yang entah mengapa, bulu kudukku langsung meremang dibuatnya.
"Rini nggak suka ya di kenthu sama aku?" bisikku.
"Su-suka, kok."
"Tapi kok nolak?"
"Ya ... tadi Mas tanya apa, kok langsung berubah itu lho pertanyaannya."
"Kok dipanggil mas segala? Kan Rini lebih tua dari aku."
"Ndak boleh, ya?" lirih Bu Rini dengan wajah tertekuk sedih. Ia bangkit duduk. Sedikit meringis sambil memegangi memeknya.
"Boleh-boleh aja. Cuma kalau Rini panggil aku kayak gitu, rasanya aku tambah cinta sama kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]
Fantasy*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN SEDIKIT SARKAS. DIMOHON DENGAN BIJAK PARA PEMBACA UNTUK MEMILIH BACAAN. TERIMA KASIH. *** Sinopsis Karena sebuah alasan, Kobe te...