***
Pagi ini adalah pagi yang tak ingin aku menyambutnya.
Memang benar jikalau pagi ini aku sedang menikmati masa liburan pasca wisuda di SMA-ku. Tapi, bukan berarti pagiku harus dirusak dengan permintaan tidak masuk akal oleh ayah dan ibuku.
“Gimana, Nak? Kamu mau, ya? Kasihan lho nenekmu nggak ada yang bantu ngurus kakek di sana. Bulik-bulikmu juga nggak ada yang mau. Cuman kamu yang bisa Ibu andalkan.” Cerca Ibu sambil menatapku penuh harap.
Aku pegang batang hidungku sembari memejamkan mata. Sejenak, kusandarkan punggungku di sofa. Sofa empuk yang sebentar lagi tidak akan menjadi tempatku melepas stress.
“Nak, Ayah sebenarnya juga nggak mau nyuruh kamu. Lagian Ayah juga pengen kamu nerusin S1. Tapi yang harus kamu tahu di sini adalah, kakekmu sayang banget lho sama kamu.” Ayah ikut menambahkan, sambil mengulas senyum mengancam.
Bajingan.
Kalau sudah Ayahku yang bersabda, sudah pasti aku tidak bisa membantah. Sekali melawan, sudah biru-biru ini pipi. Belum lagi perutku bisa kram seminggu.
Sialan.
Aku tidak ada pilihan. Masa depan yang tak pasti di desa terpencil. Pun tak bisa meneruskan pendidikan ke bangku perkuliahan yang kuidam-idamkan sedari lama. Apalagi, tak ada keluarga lain yang menemani untuk mengurus dua orang paling merepotkan: kakek dan nenek. Dua orang yang disegani, sekaligus pelawak ulung yang sanggup membuat pemuda 18 tahun sepertiku menangis darah.
Bukan tak mungkin sifat keduanya masih sama seperti 3 tahun lalu ketika aku sekeluarga sedang liburan hari raya ke sana.
Liburan terakhirku, yang sejak saat itu aku berjanji tidak akan menjejakkan kakiku ke sana lagi.
Tapi sekarang … mimpi buruk yang selama ini coba kuhindari, justru datang menghampiri.
Itu karena ulah dua eksistensi yang meresahkan liburanku waktu itu. Aku sampai tidak diberi jeda untuk istirahat.
Semasa kakek masih sehat, beliau pernah menyuruhku pagi-pagi buta untuk mengembalakan 100 ekor kambingnya. Dengan catatan tidak boleh ada yang hilang satu ekor pun.
Tak berbeda jauh dengan nenek yang menyuruhku untuk menemaninya ke rumah-rumah warga. Tentu saja aku mengira nenek yang notabene dukun bayi merangkap dukun anak-anak hendak mengobati mereka, tapi realitanya adalah aku disuguhi pemandangan paling edan! Bagaimana bisa seorang nenek-nenek membantu bocah-bocah polos untuk onani?!
Hei! Yang seperti itu hanya ada di dunia lain yang jauh dari Galaksi Bima Sakti.
“Oke.” Aku berkata, setelah sekian lama diam. “Tapi ada syaratnya," imbuhku cepat, sebelum disela.
Ayah dan ibu nampak sumringah, lalu keduanya mendekat tepat di depan wajahku.
“Apa, Nak? Bilang sama kami. Kalau kami mampu, kami turuti kemauan kamu.” Ayah berujar heboh.
“Kamu mau apa, Sayang? Motor, mobil, ponsel, helikopter? Bilang, Sayang. Ibu belikan sekarang, ya?” Ibu menimpali, tak kalah lembutnya.
Bajingan. Kalau sudah begini baru disayang. Kemarin-kemarin aku minta motor baru, malah dibelikan yang bekas. Dasar orang tua.
Aku menggeleng kecil. “Nggak, Yah, Bu. Aku nggak minta itu. Aku cuman minta buatkan kuburanku satu minggu lagi.”
“Nak!” Ibu menangis, drama.
Ayah pun memasang wajah prihatin, tapi sudut bibirnya hampir terangkat ingin tertawa.
“Ayah sama Ibu tahu kan segila apa nenek? Tahu, kan?” aku mengulang, menekankan setiap kata dengan intonasi pasrah.
“Nak, percaya sama Ibu. Nenek kamu … sudah berubah.”
“Berubah tambah gila?”
“Kambing kakekmu sudah ada yang ngurus, Nak. Kamu jangan khawatir.”
“Iya. Tapi aku juga pasti ikut membantu, kan?”
“Betul, ehem, nggak juga.” Ibu merevisi, berdehem sambil memasang wajah sok serius. “Soal hobi nenekmu, jangan dibuat pusing, Sayang. Lah wong kamu yo wes besar, pasti wes paham hal begituan.”
Aku menunduk. Memegangi pelipisku yang berdenyut.
Paham katanya? Apanya yang bisa dipahami? Dipahami kegilaannya, iya.
“Kobe, kamu itu putra kebanggaan Ayah satu-satunya. Kamu harus bisa menyenangkan hati kakek dan nenekmu di masa senjanya ini.” Ayah menasihati, ketegasan terpancar di wajahnya yang menua.
“Aku juga harus membahagiakan diriku sendiri, Yah.”
“Dirimu sendiri apa pacarmu?”
Aku tersedak. “Ya. I-itu termasuk.”
“Nak, penting mana kakek sama pacarmu?”
“PACAR!”
Ayah menghela nafas panjang. Ibu menghela nafas kecil. Keduanya kompak memasang wajah masam.
Tapi tak lama, Ayah kembali berkata, “Umur kakekmu nggak lama lagi, Nak. Kamu pasti bisa. Ayah tahu kamu mampu.”
“Kenapa Ayah seolah-olah mendoakan kakek biar cepat mati?” todongku, heran.
“Kamu nggak senang?”
“Ya senang!” seruku, cepat.
“Hush! Lambene wong lanang-lanang iki njalok tak tapok susu po piye?” (Hush! Mulutnya para lelaki ini minta aku tampil susu apa gimana?) Ibu mendelik ke arahku dan ayah bergantian.
“Mau, Bun, hehehe.” Ayah menjawab genit.
Ibu mendaratkan cubitan di pinggang Ayah. “Ish! Ayah ini. Ada Kobe lho di sini.”
“Aduh-duh-duh! Sakit, Bun." Ayah meringis. "Hm. Terus kenapa, Bun? Sekalian diajak juga nggak pa-pa. Kan Kobe sudah besar. Ya nggak, Be?” Ayah menaik-turunkan kedua alisnya kepadaku.
Aku cengo. Menatap ayah tidak paham. Gini nih kalau sudah ketularan gilanya. Satu keluarga pada sinting semua.
“DASAR SUAMI GENDENG!" teriak murka Ibu, sebelum vas bunga mendarat tepat di kepala Ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]
Fantasy*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN SEDIKIT SARKAS. DIMOHON DENGAN BIJAK PARA PEMBACA UNTUK MEMILIH BACAAN. TERIMA KASIH. *** Sinopsis Karena sebuah alasan, Kobe te...