22

7.8K 43 1
                                    

***

Dingin embun pagi bersinergi dengan mentari menampar kulit memberi salam kedamaian untuk warga Desa Gentengan.

Bebauan pohon bercampur udara bersih jauh dari kata tercemar menentramkan jiwa hingga sanggup memaksaku membuka mata. Sedikit susah payah, mengingat rasa kantukku yang teramat sangat.

Sambutan pertama yang kuterima adalah kepalaku yang berdenyut berat nan pusing. Pun rasa nyeri di dada juga punggungku.

Ah, bajingan.

Perlahan aku bangkit dari tidurku. Tidur di lantai semalam suntuk bukan ide yang bagus jika berada di wilayah dataran tinggi syarat akan suhu dingin menusuk daging sampai ke tulang.

Duduk bersila sambil memegang pelipis, pandanganku masih berbayang. Untuk sejenak aku mengerjapkan mata demi membantu meraih kesadaran penuh diriku akibat minuman kematian yang aku tenggak bersama para orang dewasa kemarin.

Cukup. Kuedarkan pandanganku ke segala penjuru kamar. Kekacauan yang aku ciptakan semalam sudah nampak rapi dan bersih. Semerbak wangi bunga melati merangsang indera penciumanku untuk mencari darimana gerangan bebauan itu berasal.

Bangkit berdiri. Otot-ototku serasa linu. Suara kretek-kretek dari bahu, pergelangan tangan, lutut, sampai berisik bak melodi group musik campursari. Bersenandung merdu meluruskan urat-urat yang tidak pada tempatnya.

Ah!

Sebentar, aku melakukan perenggangan di tempat untuk beberapa saag. Tepat saat aku melakukan gerakan membungkuk, si Palu Gatot melambai-lambai di antara pahaku. Seperti biasa, ia bangun terlebih dahulu tanpa disuruh. Dasar kontol kurang ajar.

"Mulut siapa itu?" si Palu Gatot yang ikut senam bersamaku mulai berkicau.

"Lho, Tot. Kamu kok masih hidup?" tanyaku, sambil mengelus kedua bijiku yang mengkerut.

"Justru itu pertanyaanku buat kamu, Kapten Celeng. Kenapa kamu masih hidup setelah dibogem Nenek semalam, hah?!"

"Emangnya ada apa semalam?"

"Ngene iki lek kakean ngombe. Mendeme gak mari-mari." (Gini nih kalau kebanyakan minum. Mabuknya tidak selesai-selesai.)

"Asu. Kok malah ngelamak ngene primata melata iki?" (Anjing. Kok malah kurang ajar begini primata melata ini?)

"He, gitar kentrung. Dengarkan aku ngomong, ya. Kamu itu semalam mabuk sama Nenek. Ujug-ujugnya kamu mau memperkosa Nenekmu sendiri. Untung aja Nenek berhasil memukulmu dengan mudah. Untungnya lagi, bukan diriku yang jadi sasaran tembak. Kalau sampai badanku yang seksi ini terluka, bisa-bisa aku cidera panjang, asu."

"Bajingan kamu, ya. Terus apa hubungannya sama aku, Tot?" aku tambah pusing mendengar ocehan si Palu Gatot. Mana efek alkohol masih lumayan terasa. Bajingan.

"Mbokne ancuk! Capek asli aku ngomong sama dirimu yang sedang mabuk ini. Dahlah, intinya jangan jadi lelaki pengecut. Entot wanita pakai perasaan, bukan paksaan. Ngerti enggak kamu, Kapten Gemblung?"

"Kamu itu berisik. Lama-lama kamu kayak ibuku cerewet mulu. Sana tidur, daripada aku selesaikan kamu ke kamar mandi."

"Coba aja kalau berani," tantang si Palu Gatot dengan mendongakkan kepalanya songong.

"Bangsat."

Aku memijat kepalaku. Berharap pusingnya mereda. Di saat bersamaan, kembali hidungku mencium bau yang sempat kulupakan: bau wangi melati.

Mataku melirik ke arah kasur. Sprei kasur yang sebelumnya warna putih polos kini berganti warna. Tak hanya itu, bantal dan guling ikut diganti.

Aku menebak-nebak, apa Nenek yang melakukan ini semua? Mengingat Nenek yang biasanya bodo amat tentang kebersihan, kini malah terlihat seperti seorang istri idaman yang memperhatikan sekitar.

Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang