19

8.4K 42 10
                                    

***

Yang membuatku semakin menyukai perangai Nenek adalah saat ia menempatkan diri di tengah-tengah pertikaian. Tidak membenarkan perbutanku, juga tidak menyalahkan tindakanku. Nenek membantu Adam. Mengkondisikan pemuda tambun itu. Ia didudukkan di atas potongan kayu dengan wajah bersimbah darah. Wajar, darah mengucur dari mulut dan hidungnya. Sepetinya upper cut-ku terlalu keras. Atau ... Adam saja yang terlalu lemah?

Di tengah-tengah Nenek yang sedang memberikan obat tetes pada luka robek di dagu dan area wajah, dari arah yang sama saat Adam datang, muncullah seseorang yang kukenal. Suami Bu Rini, yang tak lain adalah Pak Kusno.

Melihat anaknya yang terluka, Pak Kusno sedikit berlari dengan wajah panik menghampiri Adam. Lalu, ia bertanya entah kepada siapa, "Kenapa ini?" tentu saja pertanyaan yang tak perlu dijawab. Sudah jelas di depan mata kalau anaknya terluka dan berdarah, pastinya pelaku utama adalah orang yang duduk bertopang pipi sambil rokokan. Siapa lagi kalau bukan aku.

"Ngapunten, Pak No. Aku yang menghajar anak sampeyan." Aku buka suara tanpa sedikit pun menurunkan intimidasi lewat tatapan mata.

Pak Kusno menoleh. Menatapku ngeri, lalu dengan wajah marah campur segan, ia bertanya, "Kenapa Mas Kobe melakukan ini?"

"Hanya salah paham aja, Pak. Nih, aku juga dibogem sama Adam." Aku menjawab santai, sambil menunjuk hidungku yang kusumpal dua kapas guna menekan darah yang tak berhenti mengucur.

"Salah paham gimana, ya, Mas Kobe? Apa anak Bapak melakukan hal yang kurang pantas sampai harus sampeyan hajar sampai hancur seperti ini?"

"Aku nggak mau menjelaskan apa dan bagaimana. Kalau Pak No menuntut jawaban, lebih baik tanyakan saja langsung sama Adam ..." aku menghisap rokokku dalam, lantas menambahkan, "itu pun kalau Adam mau mengaku."

Adam yang setengah sadar, sudah jelas mendengar ucapanku. Ia hanya menggeleng-geleng tidak jelas. Wajahnya pucat seperti orang yang sedang dikejar pitbull.

Di sisi lain, Nenek yang sudah selesai mengobati Adam segera membereskan kotak P3K. Meletakkannya di dekat rantang yang dibawakan oleh Adam, lalu mulai bergabung ke dalam obrolan.

"Biasa anak muda, No. Pentilku ini lho jadi rebutan sama mereka." Dengan santainya, Nenek berujar tanpa berusaha menjaga harkat martabat dirinya sebagai soerang wanita sekaligus orang tua yang disegani. Wanita penuh kejujuran, yang kejujurannya membuat semua orang keringat dingin.

Bangsat!

Aku sampai tersedak ludah dan asap rokok sekaligus. Tak jauh berbeda dengan Adam yang keselek air minum. Gelasnya juga bisa masuk ke tenggorokan andai Pak Kusno tidak segera menepuk-nepuk tengkuk leher Adam.

Bajingan.

Momen tegang yang melibatkan darah dan permusuhan seketika runtuh hanya dengan rangkaian kata membentuk kalimat yang diucapkan oleh Nenek. Betapa menyebalkan dan menjengkelkannya wanita bertetek jumbo ini. Pantas saja Kakek sampai stroke. Mungkin saja sakitnya itu disebabkan oleh tingkah polah Nenek yang suka di luar nalar. Sungguh, aku sampai cengo dibuatnya.

"Maksud njenengan pripun, Bu Zia? Ngapunten nggih sak durunge, kulo mboten paham. Sak estu." (Maksud Anda bagaimana, Bu Zia? Mohon maaf ya sebelumnya, saya tidak paham. Sungguh.) Pak Kusno yang juga ikut oleng, bertanya dengan bahasa Jawa halus. Tentu saja. Lah wong beliau ini sedang berhadapan dengan atasan sekaligus orang yang berjasa membantu keluarganya.

"Ojok macak kentir kowe, No. Hm talah, bapak anak podo ae." (Jangan berlagak gila kamu, No. Hm talah, bapak anak sama saja.)

"Sama gimana, Nek?" kali ini aku yang bertanya.

Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang