***
"APA?!"
Aku memukul kursi panjang sekuat tenaga. Menerbangkan debu-debu menempel di atasnya. Tak percaya dengan penjelasan yang disampaikan Bu Rini.
Saking jelasnya, poin yang wanita paruh baya itu beberkan jadi terasa gamang. Seolah menyimpan banyak misteri meski telah mengungkap sedikit rahasia yang kata Bu Rini, ia sudah diwanti-wanti oleh Kakek agar tak boleh disampaikan kepadaku apa pun yang terjadi.
Tapi siang ini, semua itu terbuka di hadapanku. Informasi demi informasi aku cerna perlahan sambil mengatur emosi jiwa. Aku bakar rokok terlebih dahulu. Untung masih ada dua batang.
"Huhhhh ...." Hembusan panjang nafas serta asap rokok dari bibirku melaju kencang ke atas. Hidungku turut meramaikan sambil mengeluarkan asap putih samar.
Seperti yang sudah Bu Rini paparkan padaku satu jam yang lalu. Bahawasanya aku bukan anak kandung ibuku, Siti Aminah. Sementara Nenekku, Nurul Fauziah, bisa jadi statusnya sebagai seorang nenek, pun bisa jadi bukan. Lalu Bu Rini, yang mengukukuh diri sebagai ibu susuku.
Hal ini jelas membuat pertanyaan semakin bercabang. Tak menutup kemungkinan jika ayahku, Karim Wijaya, bukan ayah biologisku. Atau mungkin aku anak Kakek, Dewo Suryopranoto?
Pusing. Mumet. Apa maksud semua ini? Apa semua orang sedang mempermainkanku? Apa mereka sengaja menyajikan pertunjukan menjijikkan serta fakta demi fakta memuakkan yang selama ini alami hanya sebuah kedok untuk menutupi kebenaran yang tak boleh aku ketahui?
Persetan!
Lebih lanjut, Bu Rini menegaskan jika dulu sewaktu aku lahir, seluruh badanku berwarna merah kehitaman seperti luka bakar. Bahkan sempat mengalami mati suri sebelum akhirnya Kakek menyarankan agar aku dijauhkan terlebih dahulu dari wanita yang melahirkanku di dunia selama 40 hari. Selanjutnya, diriku yang masih bayi diasuh dan disusui oleh Bu Rini sampai usiaku 40 minggu atau 10 bulan.
Kenapa harus identik dengan angka 40? Kenapa pula aku bisa mati suri? Dan yang paling membuatku gelisah ... siapa wanita yang melahirkanku sampai aku mengalami tragedi mengerikan seperti itu?
"Yang ini Adam. Dan ini kamu, Kobe." Bu Rini yang sudah mengambil alih pigura foto menunjukkan dua bayi mungil dengan telunjuk. Lalu, telunjuknya beralih pada bocah lelaki yang masih balita. "Kalau ini mendiang anak pertama Emak ... Ruslan." Sambil bercucuran air mata, Bu Rini berkata dengan bibir bergetar.
Aku diam menyimak. Masih menerka inti dari apa yang disampaikan wanita di sebelahku ini.
Beberapa saat terjadi kebekuan. Bu Rini yang sibuk menuntaskan tangisannya. Aku yang tetap bungkam sambil menghisap rokok.
"Waktu itu Emak putus asa karena Kobe masih belum menunjukkan tanda kehidupan. Emak ndak bisa berpikir. Semuanya buntu. Sampai akhirnya, Emak bersumpah kepada Sang Pencipta." Bu Rini kembali bercerita, "Emak ... Emak bersumpah kalau Kobe membuka mata, Emak akan menjadi pengantin Kobe di masa depan. Emak akan menjaga Kobe. Menyayangi Kobe. Mencintai Kobe."
DUAR!!!
Bagai disambar petir di siang bolong melompong penuh omong kosong. Aku terhenyak akan pengakuan paling membagongkan yang pernah kudengar.
Yang sebekumnya banyak rahasia yang belum terungkap di otak, kini bertambah lagi rahasia lama yang perlahan menyeruak ke permukaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]
Fantasy*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN SEDIKIT SARKAS. DIMOHON DENGAN BIJAK PARA PEMBACA UNTUK MEMILIH BACAAN. TERIMA KASIH. *** Sinopsis Karena sebuah alasan, Kobe te...